Al-Hadits
merupakan sumber hukum utama sesudah al-Quran. Keberadaan hadits merupakan
realitas nyata dari ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini karena
tugas Rasul adalah sebagai pembawa risalah dan sekaligus menjelaskan apa yang
terkandung dalam risalah yakni al-Quran. Sedangkan hadits, hakikatnya tak lain
adalah penjelasan dan praktek dari ajaran al-Quran itu sendiri.
Kendati
demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan
al-Quran yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah
saw. maupun para sahabat berkaitan dengan penulisannya. Bahkan al-Qur'an telah
secara resmi dikodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shiddiq yang
dilanjutkan dengan Utsman bin Affan, yang merupakan waktu yang relatif dekat
dengan masa Rasulullah.
Sementara
itu perhatian hadist tidaklah se-istimewa al-Quran, hadist telah melewati
proses sejarah yang sangat panjang. Setidaknya sampai sekarang ini, hadist
telah melewati kurang lebih tujuh masa atau periode perkembangan.
1. Periode
pertama
Periode
pertama adalah masa wahyu dan pembentukan masyarakat. Pada masa ini Nabi SAW.
hidup di tengah-tengah masyarakat pada umumnya dan di tengah sahabat pada
khususnya, baik sewaktu tinggal di Makkah maupun setelah Hijrah ke Madinah.
Pada masa permulaan ini jumlah umat Islam hanyalah beberapa gelintir orang
saja. Mula-mula mereka tinggal di rumah al-Arqam bin Abdu Manaf, yang terletak
di kota Madinah. Disitu mereka mempelajari agama Islam, mempelajari al-Quran,
serta mereka melakukan dakwah yang pada awalnya mereka lakukan secara
sembunyi-sembunyi. Bersamaan dengan berjalannya waktu akhirnya Islampun mulai
berkembang, sehingga membentuk komunitas yang lebih besar. Di era tersebut Kota
Madinah masih memiliki sembilan masjid. Maka pada awal-awal perkembangan itu,
Nabi memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari baca tulis. Dan nabi
memprioritaskan terhadap penulisan al-Quran.
Adapun
hadist pada waktu itu, belum begitu diperhatikan seperti halnya al-Quran yang
sejak awal mendapatkan perhatian khusus. Bahkan pada awal-awal turunnya wahyu,
Nabi SAW melarang para sahabatnya untuk menulis hadist. Karena dikhawatirkan
akan tercampur dengan al-Quran, dan juga supaya semua potensi ditujukan dan
diarahkan pada al-Quran. Sehingga pada saat itu hadist terdokumentasikan dalam
bentuk hafalan saja. Berikut ini contoh Hadist Nabi SAW yang melarang penulisan
hadist.
لاتكتبوا عنى شيئا غيرالقران فمن كتب عنى شيئاغيرالقران فليمحه
Artinya “
Jangan menulis apa-apa selain al-Quran dari saya, barang siapayang menulis dari
saya selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”.(HR. Muslim dari Abu Said
a-Khudry).
Namun ada
sebuah riwayat yang mengatakan bahwa Nabi SAW memberikan izin kepada sebagian
sahabatnya untuk menulis hadist. Hal itu bertujuan untuk membantu dalam proses
hafalan mereka. Namun pada ujungnya disaat periode terakhir masa-masa kehidupan
Nabi mereka mengkodifikasikannya. Diantara para sahabat yang telah mendapatkan
lisensi adalah Abdulloh bin Amr bin Ash (7SH-65H), Dia memiliki kumpulan
hadist yang dikenal dengan Sahifah as-Sadiqah, sahifah ini memuat
seribu hadist. Disamping itu dijumpai sebuah kitab hadist Sahifah Jabir bin
Abdillah yang ditulis oleh Jabir bin Abdulloh al-Ansari (16-74H). dan yang
terakhir Sahifah Sahihah yang disusun oleh Human bin Munabbih (40-131H).
Contoh hadist yang memperbolehkan penglodifikasian hadist adalah.
اكتبواعني فوالذى نفسى بيده ماخرج من
فمى الاحق
Artinya “
Tulislah dari saya demi zat yang diriku di dalam kekuasaan-Nya, tidak keluar
dari mulutku kecuali yang hak “.
Pertama
hadist diterima secara langsung.
Ø
Melalui
majlis pengajian nabi yang diadakan pada waktu-waktu tertentu.
Ø
Adanya
perilaku umat yang disaksikan oleh nabi secara langsung dan menghendaki
panjelasan dari nabi.
Ø
Pertanyaan
yang diajukan oeh sahabat atau permintaan penjelasan sahabat kepada Nabi SAW.
Ø
Ada
peristiwa yang langsung dialami Nabi SAW dan para sahabat menyaksikannya.
Kedua hadist
diterima secara tidak langsung, yang disebabkan beberapa factor.
Ø
Kesibukan
yang dialami sahabat.
Ø
Tempat
tinggal sahabat yang jauh.
Ø
Persaan malu
untuk bertanya langasung kepada Nabi SAW.
Jadi pada
masa ini terdapat perbedaan tingkat penerimaan hadist dilkalangan sahabat.
Selain karena sebab-sebab diatas factor lain adalah tingkat kemampuan termasuk
tingkat kecerdasan diantara mereka yang menetukan kualitas penerimaan hadist.
2. Periode
kedua
Tepatnya
periode ini adalah masa kepemimpinan khulafa ar-Rasyidin, Abu Bakar as-Siddik,
Umar bi Khattab, Ustman bin Affan, Ali bin Abi Tholib (10H-40H). Persoalan yang
menonjol serta banyak menyita perhatian para sahabat pada periode ini,
disamping usaha penyebarluasan Islam adalah soal ketatanegaran dan soal
kepemimpinan umat. Persoalan-persoalan tersebut menumbuhkan perpecahan
dikalangan intern umat, yang merambat pada lahirnya berbagai macam fitnah dan
intrik. Yang pada tataran selanjutnya Hadist pun juga tak luput dari dampak
tersebut. Sehingga wajar kalau Abu Bakar dan Umar menyerukan pada umat Islam
untuk berhati-hati dan cermat dalam meriwayatkan Hadist. Serta meminta para
sahabat untuk secara teliti memeriksa riwayat Hadist yang mereka terima.
Beberapa
sumber mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar tidak akan menerima hadist kalau
tidak disaksikan kebenarannya oleh saksi yang lain. Hal itupun juga diikuti
sahabat-sahabat yang lainnya. Contohnya sahabat Ali, Ia tidak menerima hadist
sebelum yang meriwayatkan disumpah terlebih dahulu.
Semua itu menunjukkan bahwa betapa ketatnya para sahabat dalam menerima hadist.
Namun berkenaan dengan semakin luasnya wilayah Islam, yang tepatnya di masa
pemerintahan Ali dan Ustman maka larangan terhadap periwatan hadist tidak lagi
dapat dilakukan dengan tegas seperti pada masa Abu Bakar dan Umar. Karena banyak
dari sahabat yang sudah berpencar ke daerah-daerah baru. Akibatnya penyebaran
dan pengembangan riwayat secara lebih jauh tidak terhindarkan lagi.
Adapun penyeberan hadist pada masa ini menggunakan lisan, dan hanya pada saat
yang diperlukan. Misalnya jika umat Islam menghadapi suatu permasalahan yang
menuntut penjelasan dari hadist. Maka pada saat itulah hadist baru dipakai
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
3. Periode
ketiga
Periode ini
disebut periode penyebaran riwayat. Ini berlangsung pada masa sahabat kecil dan
tabiin besar. Penakhlukan beberapa kota diantaranya Syam dan Irak (17H), Mesir
(20H), Persia (21H), Samarkand (56H), dan Spanyol (93H) menuntut para sahabat
untuk berpindah ke tempat-tempat baru dengan tujuan mengajarkan agama Islam.
Adapun perkembangan selanjutnya sahabat yang mendengar riwayat (Hadist) ,
yang belum pernah didengarnya merasa perlu melakukan pengecekan dengan melawat
ke kota di mana sahabat yang meriwayatkan hadist tersebut tinggal. Kedatangan
sahabat tersebut dimanfaatkan oleh golongan tabiin untuk mendengarkan
pengajaran-pengajaran daripadanya. Dalam riwayat Bukhori Ahmad, at-Tabari, dan al-Baihaki disebutkan bahwa Jabir
pernah pergi ke Syam menanyakan sebuah hadist kepada seorang sahabat yang
tinggal disana. Hal demikian juga pernah dilakukan oleh Ayyub al-Anshari yang
melawat ke Mesir hanya untuk menemui Uqbah bin Nafi.
Periode ini
ditandai oleh aktifnya generasi tabiin menyerap hadist dari generasi sahabat.
Sehingga pada masa itu muncullah istilah “Bendaharawan Hadist”, yaitu
para sahabat yang meriwayatkan hadist lebih dari seribu hadist. Diantara mereka
adalah Abu Hurairah (meriwayatkan 5374 hadist), Abdullah bin Umar bin Khattab,
(meriwayatkan 2630 hadist), Anas bin Malik, ,meriwayatkan (2266 hadist),
Aisyah, meriwayatkan (1210 hadist), Abdullah bin Abbas, meriwayatkan (1660
hadist), Jabir bin Abdullah, meriwayatkan (1540 hadist), Abu Said al-Khudari,
meriwayatkan (1170 hadist). Sedangkan dari golongan tabiin yang tercatat sebagai
tokoh hadist pada periode ini adalah Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan
Ata bin Abi Robbah di Makkah, asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu
Qotadah dan Muahmmad bin Sirin di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin
Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan
Taus bin Khoiman di al-Yamani serta Wahab bin Muanabbih di Yaman.
Pada era
tersebut juga terdapat beberapa sahabat yang ,menyedikitkan riwayat. Alasannya,
mereka takut terjerumus dalam kedustaan, serta takut akan banyaknya
hadist yang terlupakan dikarenakan usianya yang telah lanjut. Az-Zubair dan
Zaid bin Arqom adalah contoh dari sekian sahabat yang mengambil sikap seperti
itu.
Sedangkan
dari golongan tabiin yang tercatat sebagai tokoh hadist pada periode ini adalah
Said dan Urawah di Madinah, Ikrimah dan Ata bin Abi Robbah di Makkah,
asy-Sya’bi dan Ibrahim an-Nakhai di Kufah, Abu Qotadah dan Muahmmad bin Sirin
di Basra, Umar bin Abdul Aziz dan Qobisah bin Zuaib di Syam, Abu Khoir Marsad
al-Yazini dan Yazid bin Habib di Mesirl, dan Taus bin Khoiman di al-Yamani
serta Wahab bin Muanabbih di Yaman.
Perkembangan
selanjutnya terjadi perpecahan dikalangan umat Islam, karena persoalan kholifah
dan politik. Dan hal itu merembet pada perang saudara antara Ali cs, dan
Muawaiyah cs. Perseteruan itu banyak membawa korban dikalangan umat Islam. Pada
akhirnya situasi perpolitikan yang demikian itu memberi peluang berkembangnya
pemalsuan hadist. Hadist palsu tersebut digunakan untuk menjastifikasi golongan
mereka masing-masing. Contoh hadist palsu yang dibuat golongan syiah.
من مات وفى
قلبه بغض لعلى فليمت يهد يااو نصرانيا
Artinya: “siapa yang mati dan dalam
hatinya ada rasa benci kepada Ali, maka hendaklah mati sebagai orang Yahudi
atau Nasrani.”
Contoh hadist palsu yang dibuat golongan Muawiyah.
الامناء
عندالله ثلا ثة : انا وجبريل ومعويه
4. Periode
keempat
Periode keempat
berlangsung dari masa Kholifah Umar bin Abdul Aziz (99H-102H) sampai akhir abad
kedua Hijriah. Kholifah Umar bin Abdul Aziz yang tumbuh dalam ikllim keilmuan,
membentuk pribadi yang cinta akan ilmu pengetahuan. Selain itu beliau juga
terkenal jujur. Sehingga ketika Ia menangkap kenyataan bahwa banyak dari para
penghafal hadist yang wafat, serta semakin berkembangnya hadist palsu, maka
tergeraklah hatinya untuk mengkodifikasikan hadist. Ia khawatir kalau tidak
segera dibukukan maka hadist pasti akan berangsur-angsur hilang. Kekhawatiran
itulah yang menyebabkan kholifah memerintahkan Gubernur Madinah Abu Bakar
Muhammad bin Amru bi Hazm (w 117H) untuk membukukan hadist yang terdapat pada
penghafal Amrah binti Abdurrahman bin Saad bin Zuhairah bin Ades (ahli fiqih
murid Aisyah RA) serta hadist yang ada pada Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar
as-Siddiq. Selain itu kholifah juga memerintahkan Muhammad bin Syihab az-Zuhri
(w 124 H) untuk mengumpulkan hadist yang ada pada para penghafal Hijaz dan
Syuriah. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kodifikasi resmi.
Selanjutnya
bertolak dari sini berkembanglah pengkodifikasian hadist, yang selanjutnya
melahirkan banyak penulis dan penghimpun hadist. Para tokoh tersebut misalnya:
Abdul Malik bin Abdu Aziz bin Juraij (w 159H) di Makkah, Malik bin Anas /
Imam Malik (94-179H), dan Muhammad bin Ishak (w 151H) di Madinah,
ar-Rabbi bin Sabih (w 160H), Said bin Urabah (w 167H), dan Hammad bin salamah
bin Dinar al-Basri (w167H) di Basra, Sufyan as-Sauri (w161H) di Kufah, Ma’mar
bin Rosyd (95-153H) di Yaman, Abdurrahman bin Amr al-Auzi (88-157H) di Syam,
Abdullah bin al-Mubarak (118-181H) di Khurasan, Hasyim bin Basyr (104-183H) di
Wasit, Jarir bin Abdul Hamid (110-188H) di Rayy dan Abdullah bin Wahab
(125-197H) di Mesir.
Sistem
pembukuan hadist pada stadium ini adalah, si pengarang menghimpun semua hadist
mengenai masalah-masalah yang sama dalam satu kitab karangan saja. Dan dalam
kitab ini hadist masih bercampur dengan fatwa sahabat dan tabiin. Belum ada
pemilahan mana hadist yang Marfu’, hadist Mauquf, ataupun hadist Maqtu’, serta
antara hadist Sohih, Hasan, dan Dhoif. Beberapa buku tersebut ada yang
dinamakan al-Jami, al-Musnad, al-Musannaf dan lain-lain. Misalnya Musnad
as-Syafii, Musannaf al-Auzai dan al-Muwatta karya Imam Malilk
yang disusun atas permintaan kholifah Abu Ja’far al-Mansur (144H).
5. Periode
kelima
Periode
kelima disebut dengan periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Ini
berlangsung dari awal abad ke 3 H sampai sampai akhir abad ke 3. Pada masa ini
timbul pertentangan yang hebat antara ulama kalam (khususnya Mu’tazilah) dengan
Ulama hadist. Pertentangan itu berkutat di sekitar apakah al-Quran itu makhluk
atau Bukan?
Golongan
Mu’tazilah beropini bahwa Quran adalah makhluk. Pendapat ini mendapat suport
dari kholifah-kholifah pada waktu itu. Antara lain al-Makmun (218H) . Ia
menginstruksikan kepada seluruh Gubernur di Bagdad untuk menindak dengan tegas
kepada siapa saja yang tidak mau mengatakan bahwa Quran itu makhluk. Bahkan Ia
melarang keras kepada Ulama hadist untuk berfatwa dan meriwayatkan Hadist kalau
tidak mengatakan demikian. Instruksi tersebut banyak mendapat tentangan dari
Ulama hadist khususnya, dan umat Islam umumnya yang mayoritas beraliran Ahlu
Sunnah. Pada periode tersebut banyak dari golongan ulama yang dipenjara dan di
siksa, antara lain Ahmad bin Hambal karena menentang kholifah al-Makmun dan
penggantinya al-Mu’tasim (w 227 H) dan Watsiq (w 232 H). Namun ditengah-tengah
kegentingan tersebut lahirlah ulama-ulama besar termasuk Ulama hadist, yang
dengan sabar menjaga kemurnian dan kesucian ajaran Nabi SAW.
Masa ini
dapat dikatakan sebagai masa keemasan dalam sejarah kodifikasi hadist. Sebab
para ulama telah berhasil memisahkan hadist-hadist Nabi SAW dari yang bukan
hadist (fatwa sahabat dan Tabiin) . kegiatan-kegiatan lainnya di masa ini
adalah:
Ø
lawatan ke
daerah-daerah yang semakin jauh guna menghimpun hadist dari para perowinya.
Ø
membuat klasfikasi
hadist marfu’, mauquf, dan maqtu’.
Ø
menghimpun
kritik-kritik yang diarahkan baik pada rowi maupun matan serta memberi
jawabannya.
Sebagai
tindak lanjut dari pengklasifikasian hadist, lahirlah buku-buku baru yang
dinamakan Kitab Sahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad. Pada masa
ini bangkit Imam hadist yang besar yaitu Ishaq bin Ruwaih yang merintis usaha
memisahkan antara hadist Sahih dan tidak. Usaha ini dilanjutkan oleh Imam
Bukhori, sehingga tersusunkah sebuah kitab yang sistematis berdasarkan bab-bab
yang diberi nama Sahih Bukhori. Imam-imam hadist lainnya, seperti Abu Daud,
at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majja, mulai menyusun kitab-kitab sunan mereka.
Begitu pula Imam Hambali dengan kitab musnadnya. Penyusun kitab musanad lainnya
adalah Musa al-Abbasi, Musaddad al-Basri, Asad bin Musa, dan Nuaim bin Ahmad
al-Kazai.
6. Periode
keenam
Periode
keenam merupakan periode pemeliharaan, penertiban, penambahan, dan penghimpunan
hadist. Ini dimulai dari abad ke 4 sampai jatuhnya Kota Bagdad (656H). Pada
masa ini lahir istilah ulama Mutakadimin dan ulama Mutaakhirin.
Term-term ini jadikan sebagai pemisah antara ulama yang hidup sebelum abad ke 4
H (mutakadimin), dan ulama yang hidup sesudah abad 4 H (Muataakhirin).
Perbedaan antara keduanya adalah Ulama Mutakadimin melakukan kegiatannya secara
mandiri. Dalam arti mereka himpunan hadist-hadistnya tidak dengan jalan
mengutipnya dari kitab-kitab hadist yang ada sebelumnya. Tapi mereka mendengar
langsung hadsit-hadist itu dari guru-gurunya dan mengadakan penelitian sendiri
tentang matan serta perowinya. Untuk itu mereka mengadakan lawatan-lawatan ke
berbagai daerah untuk mencek kebenaran hadist-hadist yang didengarnya.
Adapun Ulama
Mutaakhirin pada umumnya bersandar pada karya-karya Ulama Mutakadimin
dalam arti kumpulan-kumpulan hadist mereka adalah hasil petikan atau nukilan
dari kitab-kitab Mutakadimin. Pada stadium enam ini tumbuh sebuah asumsi bahwa
sudah merasa cukup dengan hadist-hadist yang dihimpun ulama-ulama Mutakadimin.
Oleh sebab itu dirasakan tidak perlu lagi melakukan lawatan ke berbegai negeri
untuk mencari hadist. Semangat yang tumbuh pada masa ini adalah semangat untuk
memelihara. Jadi para ulama periode ini berlomba-lomba untuk mengahafal
sebanyak-banykanya hadist yang sudah terkodifikasi.
Selain itu
ulama dalam periode ini berusaha memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang
masih berserakan dan memudahkan jalan-jalan pengumpulan hadist. Usaha-usaha
perbaikan tersebut memunculkan beberapa Kitab hadist diantaranya:
Ø
kitab syarh, yang
mengomentari kitab hadist tertentu. Selain itu juga muncul kitab Mustakhraj,
yaitu kitab hadist yang memuat hadist dari kitab hadist yang ada, dengan sanad
sendiri yang berbeda dengan sanad hadist rujukannya.
Ø
kitab Atraf yang
menyebut hanya sebagian dari matan atau tesk hadist, kemudian menjelaskan
seluruh sanad dari matan itu baik sanad dari kitab yang dikutip maupun kitab
lain.
Ø
kitab
Mustadrak, yang menghimpun hadist-hadist yang memiliki
syarat-syarat Bukhori Muslim atau salah satu dari keduanya saja.
Ø kitab Jam’i yang menghimpun hadist-hadist yan telah termuat dalam kitab-kitab yang
telah ada.
Abad ke-4
|
||
Pengarang
|
Nama Kitab
|
wafat
|
Imam Sulaiman bin Ahmad at-Tobrani
|
Al-Mu’jam al-Kabir
Al-Mu’jam al-Ausat
Al-Mu’jam al-Saghir
|
360 H
|
Imam Abdul Hasan Ali bin Umar bin Daruqutni
|
Sunan ad-Daruqutni
|
306-385 H
|
Abu ‘Auwanah Ya’kub bin Ishak Ibrahim al-Asfarayani
|
Sahih Abi ‘Auwanah
|
354 H
|
Ibnu Khuzaimah Muhammad bin Ishaq
|
Sahih Ibnu Khuzaimah
|
316 H
|
Abad ke-4-5
|
||
Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali
al-Baihaqi
|
As-Sunnah al-Kubra
|
384-458 H
|
Majdudin al-Harrani
|
Muntaqaal-Akhbar
|
652 H
|
Muhammad bin Ali as-Syaukani
|
Nail al-Auta
|
1172-1250H
|
Imam Zakyudin Abdul’Adhim
al-Munziri
|
At-Targhib wa at-Targhib
|
656 H
|
Muhammad bin Allan as-Sidiqi
|
Dalil al-Falihin
|
1057 H
|
7. Periode
ketujuh
Periode
ketujuh bisa dikatakan periode pensyarahan, perhimpunan, pentarjihan serta pengeluaran
riwayat. Periode ini bertepatan dengan masa penghancuran Kota Bagdad sebagai
pusat pemerintahan Abbasiyah oleh pasukan Hulugu Khan (656 H). Akibat dari
kejadian itu maka pindahlah pemerintahan Abbasiyah ini ke Cairo Mesir, namun
kholifahnya hanya simbol saja, sedangkan yang berkuasa pada hakekantnya adalah
Raja Mesir dari Mamalik.
Pada akhir
abad ke 7 Turki menguasai daerah-daerah Islam kecuali daerah barat (Maroko dan
sebagainya). Bahkan pada abad 9 Turki di bawah pemerintahan Ottoman (dinasti
Ustmaniyah) merebut Kota Konstantinopel dan dijadikan ibukotanya. Kemudian
menakhlukkan Mesir dan melenyapkan Kholifah Abbasiyah. Sejak itu kholifah
islamiyah ini dipindahkan ke Kota Konstantinopel dan sejak itu raja Turki
memakai sebutan Kholifah. Turki semakin kuat dan daerahnya makin luas, tapi
sayangnya pada waktu yang sama pemerintahan Islam di Andalus hancur. Maka
padamlah cahaya Islam yang pernah menerangi negeri tersebut selama kurang lebih
delapan abad. Kemudian imperialisme Barat berhasil menakhlukkan negeri-negeri
Islam. Dan sejak itu Islam mengalami kemunduran.
Situasi dan
kondisi tersebut secara otomatis juga menggeser cara penerimaan dan penyampaian
hadist. Mereka kadang-kadang menggunakan jalan surat menyurat dan ijazah.
Maksudnya adalah sang guru memberikan izin kepada sang murid untuk meriwayatkan
hadist dari guru tersebut.
Pada dekade ini jarang sekali detemuakan ulama-ulama yang mampu menyampaikan
periwayatan hadist beserta sanadnya secara hafalan yang sempurna. Yang umum
adalah mempelajari kitab-kitab hadist yang ada, mengembngkannya, membuat
pembahasan-pembahasannya atau membuat ringkasan-ringkasan.
SEKIANN...................... WA TERIMA KASIH...............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar