Sabtu, 03 Maret 2012

Ilmu Al-Jarh Wa Ta'dil


Ilmu al-Jarh Wa at-Ta`dil

Pengertian ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta`dil
 
Kata al-Jarh (adalah bentuk masdar dari jaraha-yajrahu  yang secara etimologi berarti luka. Keadaan luka di sini dalam bentuk fisik maupun non fisik, seperti luka badan terkena benda tajam sehingga darah mengalir (fisik) atau seperti luka hati karena mendengar kata-kata yang kasar dari seseorang (non fisik). Apabila kata jaraha dipakai dalam bentuk kesaksian dalam pengadilan, seperti maka kalimat ini berarti “Hakim menggugurkan keadilan saksi”. Kalimat ini muncul karena pada diri saksi terdapat cacat atau kekurangan yang menggugurkan keabsahan saksi yang diberikannya.
Secara terminologi, al-Jarh didefenisikan oleh para Ulama, sebagai berikut:
“Munculnya sifat pada seseorang periwayat yang merusak keadilannya atau hafalannya dan kecermatannya yang keadaan ini menyebabkan gugurnya atau lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikannya”.

Al-Jazari mengemukakan defenisi lain, sebagai berikut:
“Suatu sifat yang apabila terdapat (melekat) pada periwayat hadis atau saksi, maka perkataannya tidak dapat diterima dan batal beramal dengannya”.
Nur ad-Din ‘Itar mendefinisikan al-Jarh
“ Kecacatan yang terdapat pada perawi hadis yang meruntuhkan atau mencedrai keadilan perawi atau dhabitnya”

Dari tiga defenisi yang dikemukakan di atas, dapat memberikan gambaran tentang pengertian al-jarh, sekalipun redaksi di antara ketiganya berbeda, namun menurut hemat penulis  ketiganya ternyata memberikan pengertian yang sama, yaitu terdapatnya sifat-sifat yang jelek (tercela) pada diri periwayat yang menyebabkan hadisnya tidak dapat diterima.
Adapun kata at-ta`dil berasal dari kata al-‘adalah    dari bentuk masdar ‘addala  yang artinya mengemukakan sifat-sifat baik (adil) yang dimiliki seseorang. Kata at-ta`dil secara etimologi berarti tazkiyyah yaitu membersihkan atau memberi rekomendasi.
Secara terminologi, kata at-ta`dil sebagaimana dijelaskan oleh ‘Ajjaj al-Khatib adalah
“Seseorang yang tidak terlihat pada dirinya sesuatu yang merusak urusan agama dan muruahnya”.

Menurut Hasbi as-Siddiqi definisi ta`dil adalah:
Mengakui keadilan seseorang, kedhabitan dan kepercayaannya” 
Pengertian al-‘adl sebagai tazkiyyah yang didefinisikan oleh ‘Ajjaj al-Khatib juga sama dengan pengertiannya Nur ad-Din ‘Itar. Maka al-jarh wa at-ta`dil adalah pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela dan terpuji sehingga dapat diambil keputusan apakah riwayat yang disampaikan itu dapat diterima atau ditolak. Pengetahuan tentang pembahasan ini disebut dengan istilah ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib memberikan defenisi ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil sebagai berikut:
Suatu seperti ilmu yang membicarakan tentang para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka”.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu yang membicarakan tentang hal ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian dapat dipahami pentingnya kedudukan ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil ini dalam Islam karena dengan ilmu inilah seseorang dapat mengetahui shahih atau tidaknya sanad sebuah hadis. 

Normatifitas Al- Jarh Wa At-Ta`dil

Kaidah-kaidah umum syariat menunjukkan kewajiban memelihara Sunnah dan menjelaskan hal ihwal para perawi merupakan sarana utama untuk menjaga sunnah, maka al-jarh wa at-ta`dil merupakan system yang menjalankan hal tersebut, maka yang menjadilandasan normatifitasnya adalah firman Allah swt. yang terdapat pada Alquran surah al-Hujurat ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Kegiatan al-jarh wa at-ta`dil meskipun termasuk dalam hal membuaka iab pearwi dengan mengupas setuntasnya sifat-sifat pribadi perawi, tetapi itu tidak termasuk dalam ghibah yang dilarang, karena ini termasuk bagian dari hal yang mesti dilakukan karena al-jarh wa at-ta`dil adalah kegiatan untuk memelihara dan menjaga Sunnah dari hal-hal yang meruntuhkan keorisilitas hadis.
Selain itu juga surah al-Baqarah ayat 282 :
“ Dan periksalah dengan dua orang saksi dari orang-orang lealaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seoarang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”

Yang dimaksud saksi yang diridhai adalah orang yang kita ridhai agama  dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadis tidak diterima kecuali dari orang-orang tsiqhat.
Berkenaan dengan al-jarh,  Rasul saw. bersabda
“ Seburuk-buruk saudara adalah dia”

Dan yang berkenaan dengan at-ta`dil  beliau bersabda :
“ Sebaik-baiknya hamba Allah adalah Khalid bin al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah.”

Manfaat Ilmu al-Jarh Wa at-Ta`dil

Ilmu al-jarh wa at-ta`dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu al-jarh wa at-ta`dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta`dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta`dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.
Jelasnya ilmu al-jarh wa at-ta`dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh  dan ta`dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta`dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.

Lafal dan Tingkatan  al-Jarh Wa at-Ta`dil

Lafadz-lafadz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan, menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut:
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandug pengertian sejenis:
اوثق الناس                    = orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
اثبت الناس حفظا وعدالة    = orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
الىه المنتهى في الثبت         = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة                    = orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)      Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت           = orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقة ثقة              = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
حجة حجة         = orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة             = orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat hafalannya.
حافظ حجة        = orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن        = orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)      Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti ‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت     = orang yang teguh (hati-hati lildahnya).
متقن    = orang yang meyakinkan ilmunya.
ثقة      = orang yang tsiqah.
حافظ   = orang yang hafidz (kuat hafalannya).
حجة    = orang yang petah lidahnya.
4)      Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
صدوق             = orang yang sangat jujur
ماء مون           = orang yang dapat memegang amanat
لا باء س به       = orang yang tidak cacat
5)      Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق      = orang yang berstatus jujur
جيد الحديث        = orang yang baik haditsnya
حس الحديث       = orang yang bagus haditsnya
مقارب الحديث    = orang yang haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah
6)      Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya:
صدوق ان شاءالله                                    = orang yang jujur, insya Allah
فلان ارجو بان لا باء س به                        = orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلج                              = orang yang sedikit keshalihannya
فلان مقبول حديثة                        = oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
Kemudian, tingkatan dan lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;
1)      Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس                  = orang yang paling dusta
اكذب الناس                    = orang yang paling bohong
اليه المنتهى في الوضع      = orang yang paling menonjol kebohongannya
2)      Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
كذاب                            = orang yang pembohong
وضاع                         = orang yang pendusta
دجال                           = orang yang penipu
3)      Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya, mislanya:
فلان متهم بالكذب             = orang yang dituduh bohong
او متهم بالوضع              = orang yang dituduh dusta
فلان فيه النظر                = orang yang perlu diteliti
فلان ساقط                     = orang yang gugur
فلان ذاهب الحديث           = orang yang haditsnya telah hilang
فلان متروك الحديث         = orang yang ditinggalkan haditsnya
4)      Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث              = orang yang dilempar haditsnya
فلان ضعيف                  = orang yang lemah
فلان مردود الحديث          = orang yang ditolak haditsnya
5)      Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya, misalnya:
فلان لايحتج به               = orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان مجهول                  = orang yang tidak dikenal haditsnya
فلان منكر الحديث            = orang yang mungkar haditsnya
فلان مضطرب الحديث      =orang yang kacau haditsnya
فلان واه                        = orang yang banyak duga-duga
6)      Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
ضعف حديثه                  = orang yang di-dha’if-kan haditsnnya
فلان مقال فيه                 = orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف                = orang yang disingkiri
فلان لين                     = orang yang lunak
فلان ليس بالحجة             = orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
فلان ليس بالقوي             =orang yang tidak kuat
Orang yang di-tajrih menurut tingkat pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai i’tibar (tempat pembanding).

Syarat-syarat yang Melakukan al-Jarh Wa at-Ta`dil

Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian seorang ulama terhadap ulama lainnya melainkan harus jelas dulu sebab-musabab penilaian tersebut. Terkadang orang yang menganggap orang lain cacat malah orang tersebut yang cacat. Beranjak dari sanalah dalam kajian al-jarh wa at-ta`dil selaku ilmu penilaian perawi hadis, terdapat dua kategori syarat, pertama syarat bagi pelaku yang melakukan al-jarh wa at-ta`dil dan kedua bagi al-jarh wa at-ta`dil itu sendiri. Adapaun mengenai syarat bagi ulama yang melakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah :
1). Berilmu,bertakwa, wara’ dan jujur,
2). Ulama tersebut mengetahui sebab-sebab al-jarh wa at-ta`dil,
3).Mengetahui ungkapan bahasa arab dan penggunaan lafal dengan benar.
4). Penialaian al-jarh wa at-ta`dil dilakukan oleh orang adil  dan menjauhi fanatik golongan.
Sementara syarat diterimanya al-jarh wa at-ta`dil adalah sebagai berikut:
Menjelaskan sebab-sebab melakukan al-jarh dan tidak perlu menjelaskannya bagi yang melakukan ta`dil
Tidak melakukan al-jarh terhadap perawi yang sama sekali tidak ada ulama yang mengta`dilnya.
Al-Jarh terlepas dari berbagai hal yang menghalangi penerimaannya. Salah satu hal yang menghalangi diterimanya al-jarh adalah keadaan si penilai termasuk dalam orang yang majruh (dinilai memiliki sifat tercela).

Cara Mengetahui Keadilan Perawi

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:
Dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan as-Sauri, Sya`ban bin al-Hajjaj, asy-Syaf`i, Ahmad dan lain-lain. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Dengan pujian dari seseorang yang adil (tazkiyyah). Yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita`dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyyahini dapat dilakukan oleh:
Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta`dilkan. Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta`dilkan seorang rawi. Demikian pendapat kebanyakan ulama hadis berlainan dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengadilkannya.
Menilik kepada fakta sejarah tentang perkembangan al-jarh wa at-ta`dil  dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui sifat pribadi perawi ada dua metode dasar, yaitu :
Melalui lisan, dimana seorang kritikus hadis mendengarkan dari gurunya yang menjelaskan tentang sifat-sifat perawi sebelumnya, yang mana metode ini dikenal dengan istilah metode at-tahammul wa al-ada’.
Melalui literatur, mengetahui sifat perawi dengan menggunakan literatur tentunya adalah membaca hasil simpulan para peneliti sifat perawi sebelumnya, tentunya bahan bacaan yang dijadikan sebagai literatur utama adalah kitab-kitab yang menjelaskan sifat-sifat perawi, misalnya al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa ‘Illat al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani  dan kitab lain yang menjelaskan sifat rijal al-hadis.
Selain dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat ditempuh dengan dua jalan:
Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
Berdasarkan pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para ulama hadis, sedang menurut para ulama fikih sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.
Beranjak dari kecacatan perawi, Fathur Rahman telah menyimpulkan ada 5 aspek dasar yang dianggap sebagai sebab-sebab boleh dihukumkan perawi tersebut memiliki cacat yang dikenal dengan istilah asbab at-ta`ni (aspek cacat perawi), yaitu :
1.      Bid’ah (perawi tersebut melakukan hal yang dianggap seabgai perbuatan bid’ah)
2.      Mukhtalafah (berbeda dengan perawi lain dalam periwayatan matan hadis)
3.      Ghalath (banyak keliru dalam periwayatan)
4.      Jahalat al-Hal (tidak dikenal identitasnya)
5.      Da’wal al inqitha` (dicurigai sanadnya tidak tersambung)

Beberapa Kaidah al-Jarh Wa at-Ta`dil

Sepanjang kajian al-jarh wa at-ta`dil banyak ketentuan dan kaidah yang harus diikuti dan kaidah itu umumnya masih belum tersusun secara sistematis yang intinya adalah tentang pegangan antara al-jarh dan  at-ta`dil yang diamalkan di saat terjadi perbedaan penilaian kritikus  dalam memberikan pujian atau celaan terhadap perawi hadis. Maka dalam hal ini diperlukan penelitian lebih lanjut tentang yang sebenarnya. Terkadang sebagian mentajrihkan berdasarkan informasi jarh yang ia terima mengenai perawi yang bersangkutan, kemudian perawi tersebut bertaubat dan diketahui oleh sebagian yang lain kemudian menta`dilkannya. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada pertentangan antara keduanya.
A). Cara Penyelesaian Kaidah Kontradiktif dalam al-Jarh wa at-Ta`dil
Merujuk kepada kesimpulan Prof. Ramli Abdul Wahid dalam dua bukunya  Kamus Lengkap Ilmu Hadis  dan Studi Ilmu Hadis, terdapat enam kaidah yang harus diketahui dalam kajian ilmu al-jarh wa at-ta`dil untuk menyelesaikan perbedaan penilaian antara mu’addil dan jarih terhadap perawi hadis yaitu :
Celaan didahulukan atas pujian”
Maksudnya apabila seorang perawi yang dinilai oleh kritikus hadis, tentunya adakalanya penilaian berupa pujian adakala berupa celaan. Maka yang didahulukan adalah penilaian tercela. Kaidah ini didasarkan kepada dua alasan, Pertama kritikus yang menyatakan celaan dinilai lebih mengetahui pribadi periwayat yang dinilainya ketimbang orang yang yang menilainya adil. Kedua adalah yang menjadi dasar untuk memuji periwayat adalah persangkaan baik dari orang yang dinilainya, di mana persangkaan baik itu akan dikalahkan bila ternyata perawi tersebut memiliki celaan yang dinilai oleh kritikus lain.
Kaidah ini banyak didukung oleh kalangan ulama hadis, ulama fikih dan ulama usul fikih. Banyak dari mereka yang menganut teori ini, dan tentunya pengamalan terhadap teori ini tanpa meninggalkan alasan terhadap celaan yang dialamatkan kepada perawi yang dijarihkan tersebut.
“ Pujian didahulukan atas celaan”
Maksudnya kaidah ini adalah kebalikan dari kaidah yang sebelumnya, landasan kaidah ini adalah kembali melihat kepada dasar sifat terpuji yang dimiliki oleh perawi tentunya pujianlah yang tepat diberikan kepada seorang perawi meskipun ada juga kritikus yang menilainya tercela belakangan waktu. Salah satu ulama yang mendukung kaidah ini adalah an-Nasai (w.303 H/915 M). Pada umumnya ulama hadis tidak menerima kaidah ini karena dalam hubungan ini kritikus yang memberikan pujian tidak mengetahui sifat tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya tersebut padahal hal itu diketahui oleh kritikus lainnya.
Ada juga yang berpendapat dalam pemberlakuan kaidah ini dilihat kepada jumlah pengkritik, jika yang memuji (mua’ddil) lebih banyak dari yang mencela (jarih) maka yang akan dimenangkan adalah sifat ta`dilnya. Sebab, jumlah yang banyak itu menguatkan keadaan mereka yang mengakibatkan hadisnya dapat diterima dan diamalkan. Menurut al-Bulqaini, ta`dil didahulukan daripada jarh jika mu’addil lebih banyak hafalan hadisnya di saat antara mu’addil dan jarih memilki jumlah yang sama.
Jika terjadi pertentangan antara yang memuji dan yang mencela, maka yang didahulukan adalah orang yang memujinya, kecuali yang mencela menyertai celaannnya dengan alasan dan sebabnya.”

Maksudnya adalah di saat terjadi pertentangan antara orang yang memuji dan mencela seorang seorang perawi hadis, maka pada dasarnya yang harus dimenangkan adalah yang memuji kecuali pengkritik tersebut menyertakan alasan dan bukti  kenapa perawi tersebut dicela. Kritikus yang mampu menjelaskan sebab-sebab tercelanya perawi dianggap dia lebih mengetahui pribadi perawi ketimbang yang memberikan penilaian terpuji. Inilah pandangan ulama fikih, usul fikih dan jumhur ulama hadis. Sebagian mereka ada yang menyatakan bahwa penjelasan tentang celaan yang dikemukan itu harus relevan dengan mengetahui juga sebab-sebab tercelanya periwayat yang dinilainya itu dan para ulama memandang bahwa sebab tercelanya tidak relevan atau telah hilang dari periwayat yang bersangkutan dengan bertaubat, maka yang memuji ketika itu diutamakan.
Tidak diterima kritikan tercela dari orang yang tergolong lemah (dhaif) terhadap perawi yang ?iqah”
Maksudnya apabila kritikus yang menilai seorang perawi itu tidak ?iqah sedangkan perawi yang dinilainya tersebut ?iqah maka kritikan tersebut tidak diterima (ghairu maqbul) atau tertolak.  Sebab, orang yang ?iqah dikenal lebih hati-hati daripada orang yang tidak ?iqah dan kaidah ini didukung oleh jumhur ulama hadis.
Celaan tidak diterima kecuali sesudah benar-benar yakin karena dikhawatirkan terjadi kesamaan orang yang dicelanya”
Maksudnya adalah apabila nama seorang perawi memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat yang dicela, maka celaan itu tidak dapat diterima kecuali sesudah dapat dipastikan bahwa kritik itu terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama. Alasannya adalah bahwa suatu kritik harus jelas sasarannya, pendukung pendapat ini adalah jumhur ulama hadis.
“ Celaan yang terjadi akibat permusuhan duniawi tidak diperhatikan”

Maksudnya apabila seorang kritikus diketahui memiliki permusuhan dalam masalah keduniaann dengan periwayat yang dinilainya tersebut, maka kritikannya terhadap periwayat tersebut tidak dapat diterima. Alasannya adalah karena pertentangan dalam masalah keduniaan dapat menyebakan lahirnya penilaianya yang subjektif  hal ini terjadi karena sebagai manusia,  kritikus mungkin memberikan penilain tercela karena didorong oleh rasa kebencian.
Menelaah dari enam kaedah tersebut, di saat terjadinya perbedaan penilaian antara yang memuji dan yang mencela, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Jarh didahulukan secara mutlaq, karena yang mentajrih lebih mengetahui sifat pribadi perawi, inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama.
Ta`dil didahulukan dari jarh  manakala yang menta`dil memiliki jumlah yang banyak.
3.      Bila jarh dan ta`dil bertentangan, salah satunya tidak dapat didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, maka dihentikan sementara sampai diketahui mana yang lebih kuat diantaranya.
4.      Tetap dalam ta’arrud bila tidak ditemukan yang mentajrihkannya. 

B). Klasifikasi Kritikus Hadis

Dalam memberikan penilaian terhadap periwayat, ulama kritikus hadis terbagi dalam tiga tingkatan klasifikasi, kelompok yang sangat ketat (mutasyaddid), kelompok yang bersikap longgar (mutasahil) dan kelompok yang moderat (mu`tadil). Penilaian positif yang diberikan olehg kelompok mutasyaddid diperpegangi secara maksimal dan penilaian negatifnya tidak diperhatikannya jika bertentangan dengan penilaian kritikus lain.
Ulama yang termasuk dalam tiga klasifikasi kelompok tersebut adalah :
Kelompok mutasyaddid ialah al-Jaujazani, Abu Hatim ar-Razi, Ibnu Hatim, an-Nasa’I, Syu`bah, Ibn al-Qattan, Ibn Ma`in, Ibn al-Madini dan Yahya al-Qaththan.
Kelompok mutasahil ialah Tarmizi, al-Hakim, Ibn Hibban, al-Bazzar, asy-Syafi`I, ath-Thabrani, Abu Bakar al-Haitsami, al-Munziri, Ibn Khuzaimah, Ibn as-Sakkan, dan al-Baghawi.
Kelompok mu`tadil ialah al-Bukhari, ad-Daruqutni, Ahmad, Abu Zar`ah, Ibn `Adi, az-Zahabi dan Ibn Hajar al-`Asqalani.
Penilaian ta`dil dari kelompok yang bersikap ketat dipandang kuat, sedang enilaian negative mereka tidak diterima jika jika bertentangan dengan penilaian kelompok lainnya. Penilaian ta`dil oleh kelompok mutasahil perlu diperbandingkan dengan penilaian kelompok lainnya.

Tokoh Dan Karya Terpopuler Dalam Bidang Al-Jarh Wa At-Ta`dil

Ilmu al-jarh wa at-ta`dil tumbuh bersama periwayatan dalam Islam, dimana untuk mengetahui hadis yang shahih diperlukan ilmu pengetahuan tentang perawinya yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu menilai kejujuran atau kedustaannya sehingga mereka akan mampu membedakan antara yang bisa diterima dari yang ditolaknya. Dengan ilmu ini mereka mengetahui sifat pribadi perawi hadis yang diterimanya, ada yang paling hafid, yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama belajar dengan gurunya.
Para imam Hadis sangat cermat dalam menilai para periwayat, setiap muhaddis akan mereka teliti sifat positif dan negatifnya. Imam Syafi`i berkata “ Demi Allah, seandainya saya menemukan kebenaran kebenaran sebanyak sembilan puluh sembilan kali dan melakukan kesalahan sekali saja saja, maka mereka akan menilaiku berdasarkan satu kali saja”. Dan menurut jumhur ulama bahwa menjelaskan hal ihwal perawi ini tidak termasuk ghibath, justru mengandung unsur pemeliharaan terhadap sunnah dan menjaganya dari segala macam penyusupan serta penjelasan yang shahih dari yang dha’if. Mereka menjelaskankannya dengan penuh kejujuran dan keikhlasan.
Di antara para ahli al-jarh wa at-ta`dil terkemuka adalah Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) dan ‘Amir asy-Sya`bi  (19-103 H) dari golongan tabiin. Selanjutnya Syu`bah ibn al-Hajjaj (82-160H) dan Malik bin Anas (93-179H). Selain itu Sufyan ibn `Uyainah (107-198 H), ‘Abdurrahman ibn Mahdiy (135- 198 H), Yahya ibn Ma’in (158 – 233 H) Imam Ahmad bin Hambal (162- 241 H) dan Imam ‘Ali ibn ‘Abdullah al-Madini (161 – 234 H).
Setelah itu pada generasi setelah mereka, muncul pula kritikus yang lain yang terkemuka di antaranya: Muhammad bin ‘Ismail al-Bukhari (194 – 256 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (195 – 277 H), Abu Zur’ah ‘Ubaidillah bin Abdul Karim ar-Razi (200 – 264 H). Setelah itu muncul pula generasi demi genarasi ahli al-jarh wa at-ta`dil yang memberikan andil dalam pemeliharan Sunnah dan membedakan antar Hadis yang shahih dengan yang cacat.
Karya-karya yang memuat bidang al-jarh wa ta`dil bisa kita lihat kembali sejarah pengkodifikasian ilmu Hadis pada abad 2 H, di mana ilmu ini juga merupakan benih yang muncul dari pengkodifikasian hadis. Sedangkan  karya standart terkait ilmu ini mencapai sekitar empat puluhan, baik yang dicetak maupun yang masih berbentuk manuskrip sampai abad 7 H. Karya yang mula-mula sampai kepada kita adalah kitab Ma’rifat ar-Rjal hasilkarya Yahya ibn Ma’in, Kitab ad-Du’afa’ karya Imam Bukhari dan  ad-Du’afa’ wa al-Matrukin karangan Imam Ahmad ibn Syu’ib `Ali an-Nasa’i (215 – 303 H). Sedangkan yang paling lengkap diantara karya ulama awal dalam bidang ini adalah kitab al-Jarh wa Ta`dil karya Abdurrahman ibn Abi Hatim ar-Razi (240 – 327 H). Termasuk karya yang juga populer dalam bidang ini adalah kitab a?-?iqah karangan Abi Hatim dan al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa ‘Illat al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani (277 -365 H), kitab Mizan al-I’tidal karya Imam Syamsyuddin Muhammad ibn Ahmad az-Zahabi (673- 748 H) dan kitab karya Ibn Hajar al-`Asqalani yaitu kitab Lisan al-Mizan.

Tinjauan Analitik

Salah satu hal yang menjadi tinjauan al-jarh wa at-ta`dil adalah akan digugurkan pengamalan terhadap hadist yang dijarh beberapa lafal yang telah penulis tuliskan di atas, dari sini kita dapat melihat bahwa tinjauan utama dilakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah untuk melahirkan keorisinilitas Hadis Rasul.
Perawi yang ditajrihkan dan yang dita`dilkan,  di antara ulama hadist dan ulama fikih berbeda tinjauan mereka terhadap pengamalan hadist tersebut. Kalangan fuqaha lebih mendahulukan (mentaqdim) tinjauan ta`dil sedangkan kalangan ulama hadis lebih mengunggulkan unsur al-jarh. Hal ini menurut analisa penulis adalah berbeda tinjau mereka dalam melihat kualitas hadis. Di mana ulama hadis melihat kualitas periwatan dan sanad hadis dan benar-benar terjaga perawi dari hal-hal yang dicela sedangkan tinjauan ulama fikih adalah melahirkan konsep hukum dari hadis, maka dalam hal ini ulama fikih tidak terlalu menfilterkan (mendahulukan ta`dil dari al-jarh) apalagi terhadap amalan yang bersifat fadhail a’mal.

Penutup

Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil merupakan ilmu untuk mengetahui sifat-sifat pribadi para perawi hadis Rasulullah, di mana ilmu ini membicarakan tentang hal-ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian dapat dipahami pentingnya kedudukan ‘ilmu al- jarh wa at-ta`dil ini dalam Islam karena dengan ilmu inilah seseorang dapat mengetahui shahih atau tidaknya sanad sebuah hadis.
Dengan ilmu ini kita juga dapat mengatahui ke?iqahan seorang perawi dengan lainnya, karena para tokoh dalam ilmu al-jarh wa at-ta`dil telah menyimpulkan sifat dan penilaian mereka terhadap para perawi hadis. Hal ini dapat dilihat dalam keragaman hasil karya mereka dalam karya-karya yang memuat ilmu al-jarh wa at-ta`dil sebagaimana telah penulis jelaskan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

‘Itar Nur al-din,  al-Hadis wa ‘Ulumuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
——————, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis. Beirut: Dar al-Fikr t.t.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma`il. Sahih al-Bukhari: al-Jami’ as-Sahih al-Mukhtasar. Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987.
Al-Gurabi, Mustafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Mesir: Muhammad Ali Shabih wa-Awladuhu, 1959.
Al-Jazari, Jami’ al-Usul fi Ahadis ar-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadis: ‘Ulumuh wa Mustalahuh. Terj. M. Nur Ahmad Musafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis . Jakarta: Gaya Media Pratama,2007.
An-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
As-Sayuti, Jalal ad-Din. Tadrib ar-Rawi. Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
As-Siddiqie,  Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis . Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
At-Tahanawi, Ahmad al-‘Usmani. Qawa’id ‘Ulum al-Hadis. Tt: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyah 1404 H/1984 M.
At-Tahhan, Mahmud. Metode Takhrij Dan Penelitian Sanad Hadis. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
—————————, Tafsir Mustalah al-Hadis, terj. Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi. Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997.
At-Tirmizi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa. Sunan at-Tirmizi: al-Jami’ as-Sahih Sunan at-Tirmizii. Beirut: Dar al-Ihya at-turas al-`Arabi, tt.
Dahlan, Abdul Aziz. et.al., Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Van Hoeve 1996.
Husain, Abu Lubabah. al-Jarh wa at-Ta`dil. Riyadh: Dar al-Liwa’ li an-Nasyr at-Tauzi’ 1394 H/1974 M.
Khadijah, dkk.  Ulumul Hadis. Medan: Perdana Publishing, 2011.
Mansur, Ibn.  Lisan ‘Arab. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
Rahman,  Fatchur.  Ikhtisar Masthalah Hadis. Bandung: al-Ma’arif, 1995
Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Suparta, Munzir. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja Grafindo, tt.
Wahid, Ramli Abdul dan Husnel Anwar Matondang, Kamus Lengkap Ilmu Hadis.  Medan: Pedana Publishing, 2011.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis; Edisi Revisi. Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.
————————-, Fikih Sunnah Dalam Sorotan. Medan:  LP21K, 2005.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar