Ilmu al-Jarh Wa at-Ta`dil
Pengertian ‘Ilmu al-Jarh Wa at-Ta`dil
Kata al-Jarh (adalah bentuk masdar dari jaraha-yajrahu
yang secara etimologi berarti luka. Keadaan luka di sini dalam bentuk
fisik maupun non fisik, seperti luka badan terkena benda tajam sehingga darah
mengalir (fisik) atau seperti luka hati karena mendengar kata-kata yang kasar
dari seseorang (non fisik). Apabila kata jaraha dipakai dalam bentuk
kesaksian dalam pengadilan, seperti maka kalimat ini berarti “Hakim
menggugurkan keadilan saksi”. Kalimat ini muncul karena pada diri saksi
terdapat cacat atau kekurangan yang menggugurkan keabsahan saksi yang
diberikannya.
Secara terminologi, al-Jarh didefenisikan oleh
para Ulama, sebagai berikut:
“Munculnya sifat pada seseorang periwayat yang merusak
keadilannya atau hafalannya dan kecermatannya yang keadaan ini menyebabkan
gugurnya atau lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikannya”.
Al-Jazari mengemukakan defenisi lain, sebagai berikut:
“Suatu sifat yang apabila terdapat (melekat) pada
periwayat hadis atau saksi, maka perkataannya tidak dapat diterima dan batal
beramal dengannya”.
Nur ad-Din ‘Itar mendefinisikan al-Jarh
“ Kecacatan yang terdapat pada perawi hadis yang
meruntuhkan atau mencedrai keadilan perawi atau dhabitnya”
Dari tiga defenisi yang dikemukakan di atas, dapat
memberikan gambaran tentang pengertian al-jarh, sekalipun redaksi di
antara ketiganya berbeda, namun menurut hemat penulis ketiganya ternyata
memberikan pengertian yang sama, yaitu terdapatnya sifat-sifat yang jelek
(tercela) pada diri periwayat yang menyebabkan hadisnya tidak dapat diterima.
Adapun kata at-ta`dil berasal dari kata al-‘adalah
dari bentuk masdar ‘addala
yang artinya mengemukakan sifat-sifat baik (adil) yang dimiliki seseorang.
Kata at-ta`dil secara etimologi berarti tazkiyyah yaitu
membersihkan atau memberi rekomendasi.
Secara terminologi, kata at-ta`dil sebagaimana
dijelaskan oleh ‘Ajjaj al-Khatib adalah
“Seseorang yang tidak terlihat pada dirinya sesuatu
yang merusak urusan agama dan muruahnya”.
Menurut Hasbi as-Siddiqi definisi ta`dil
adalah:
“ Mengakui keadilan seseorang, kedhabitan dan
kepercayaannya”
Pengertian al-‘adl sebagai tazkiyyah
yang didefinisikan oleh ‘Ajjaj al-Khatib juga sama dengan pengertiannya Nur
ad-Din ‘Itar. Maka al-jarh wa at-ta`dil adalah pengungkapan keadaan
periwayat tentang sifat-sifatnya yang tercela dan terpuji sehingga dapat
diambil keputusan apakah riwayat yang disampaikan itu dapat diterima atau
ditolak. Pengetahuan tentang pembahasan ini disebut dengan istilah ‘ilmu
al-jarh wa at-ta`dil.
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib memberikan defenisi ‘ilmu
al-jarh wa at-ta`dil sebagai berikut:
“Suatu seperti ilmu yang membicarakan tentang para
periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka”.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dipahami
bahwa ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil adalah ilmu yang membicarakan tentang
hal ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau ditolaknya riwayat
mereka dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian dapat dipahami pentingnya
kedudukan ‘ilmu al-jarh wa at-ta`dil ini dalam Islam karena dengan ilmu
inilah seseorang dapat mengetahui shahih atau tidaknya sanad sebuah hadis.
Normatifitas Al- Jarh Wa At-Ta`dil
Kaidah-kaidah umum syariat menunjukkan kewajiban
memelihara Sunnah dan menjelaskan hal ihwal para perawi merupakan sarana utama
untuk menjaga sunnah, maka al-jarh wa at-ta`dil merupakan system yang
menjalankan hal tersebut, maka yang menjadilandasan normatifitasnya adalah
firman Allah swt. yang terdapat pada Alquran surah al-Hujurat ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.
Kegiatan al-jarh wa at-ta`dil meskipun termasuk
dalam hal membuaka iab pearwi dengan mengupas setuntasnya sifat-sifat pribadi
perawi, tetapi itu tidak termasuk dalam ghibah yang dilarang, karena ini
termasuk bagian dari hal yang mesti dilakukan karena al-jarh wa at-ta`dil
adalah kegiatan untuk memelihara dan menjaga Sunnah dari hal-hal yang
meruntuhkan keorisilitas hadis.
Selain itu juga surah al-Baqarah ayat 282 :
“ Dan periksalah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lealaki (diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seoarang lupa maka seorang lagi mengingatkannya”
Yang dimaksud saksi yang diridhai adalah orang yang
kita ridhai agama dan kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadis
tidak diterima kecuali dari orang-orang tsiqhat.
Berkenaan dengan al-jarh, Rasul
saw. bersabda
“ Seburuk-buruk saudara adalah dia”
Dan yang berkenaan dengan at-ta`dil beliau
bersabda :
“ Sebaik-baiknya hamba Allah adalah Khalid bin
al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah.”
Manfaat Ilmu al-Jarh Wa at-Ta`dil
Ilmu al-jarh wa at-ta`dil sangat berguna untuk menentukan
kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus
mempelajari kaidah-kaidah ilmu al-jarh wa at-ta`dil yang telah banyak
dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara
menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan
dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka
tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta`dil,
maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari
tingkatan ta`dil yang tertinggi sampai pada tingkatan jarh yang
paling rendah.
Jelasnya ilmu al-jarh wa at-ta`dil ini
dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi “dijarh”
oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak.
Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang
lain dipenuhi.
Adapun informasi jarh dan ta`dilnya
seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu
bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai ‘aib.
Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka
tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi
yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi
dipersoalkan.
Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi
lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta`dilkan seorang rawi yang lain
yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa
menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan
rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka
periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Lafal dan Tingkatan al-Jarh Wa at-Ta`dil
Lafadz-lafadz yang digunakan untuk
men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu
Shalah, dan Imam An-Nawawy, lafadz-lafadz itu disusun menjadi 4 tingkatan,
menurut Al-Hafidz Ad-Dzahaby dan Al-Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu
Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut:
Tingkatan pertama, segala sesuatu
yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafadz-lafadz
af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandug pengertian sejenis:
اوثق الناس
= orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hafalannya.
اثبت الناس
حفظا وعدالة
= orang yang paling mantap hafalan dan keadilannya.
الىه المنتهى
في الثبت
= orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya.
ثقة فوق ثقة
= orang yang tsiqat melebihi orang tsiqat.
2)
Tingkatan kedua, memperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang
menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu
selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya:
ثبت ثبت
= orang yang teguh (lagi) teguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
ثقة ثقة
= orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu yang sangat dipercaya.
حجة حجة
= orang yang ahli (lagi) petah lidahnya.
ثبت ثقة
= orang yang teguh (lagi) tsiqah, yaitu teguh dalam pendiriannya dan kuat
hafalannya.
حافظ حجة
= orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya.
ضابط متقن
= orang yang kuat ingatannya (lagi) meyakinkan ilmunya.
3)
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti
‘kuat ingatan’, misalnya:
ثبت = orang
yang teguh (hati-hati lildahnya).
متقن = orang yang
meyakinkan ilmunya.
ثقة =
orang yang tsiqah.
حافظ = orang yang hafidz
(kuat hafalannya).
حجة = orang yang
petah lidahnya.
4)
Tingkatan keempat,menunujkkan keadilan dan ke-dhabit-an, tetapi dengan lafadz
yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya:
صدوق
= orang yang sangat jujur
ماء مون
= orang yang dapat memegang amanat
لا باء س به
= orang yang tidak cacat
5)
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui
ke-dhabit-an, misalnya:
محلة الصدق =
orang yang berstatus jujur
جيد الحديث
= orang yang baik haditsnya
حس الحديث
= orang yang bagus haditsnya
مقارب الحديث = orang yang
haditsnya berdekatan dengan hadits lain yang tsiqah
6)
Tingkatan keenam, menunujukka arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat
tersebut di atas yang diikuti dengan lafadz “Insya Alla”, atau lafadz tersebut
di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafadz itu dikaitkan dengan suatu
pengharapan, misalnya:
صدوق ان
شاءالله
= orang yang jujur, insya Allah
فلان ارجو
بان لا باء س به
= orang yang diharapkan tsiqah
فلان صويلج
= orang yang sedikit keshalihannya
فلان مقبول
حديثة
= oranng yang diteruma hadits-haditsnya
Para ahli ilmu mempergunakan
hadits-hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang di-ta’dil-kan menurut
tingkatan pertama sampai tingkatan keempat sebagai hujjah. Adapun hadits-hadits
para rawi yang di-ta’dil-kan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat
ditulis, dan baru dapat dipergunakan bila dikuatkan oleh hadits periwayat lain.
Kemudian, tingkatan dan
lafadz-lafadz untuk men-tajrih rawi-rawi, yaitu;
1)
Tingkatan pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan
menggunakan lafadz-lafadz yang berbentuk af’alu al ta’dil atau ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenisnya, misalnya:
اوضع الناس
= orang yang paling dusta
اكذب الناس
= orang yang paling bohong
اليه المنتهى
في الوضع
= orang yang paling menonjol kebohongannya
2)
Tingkatan kedua, menunjukkan sangat cacat dengan menggunakan lafadz-lafadz
berbentuk sighat muballaghoh, misalnya:
كذاب
= orang yang
pembohong
وضاع
= orang yang
pendusta
دجال
= orang yang
penipu
3)
Tingkatan ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong atau sebagainya,
mislanya:
فلان متهم
بالكذب
= orang yang dituduh bohong
او متهم
بالوضع
= orang yang dituduh dusta
فلان فيه
النظر
= orang yang perlu diteliti
فلان ساقط
= orang yang gugur
فلان ذاهب
الحديث
= orang yang haditsnya telah hilang
فلان متروك
الحديث
= orang yang ditinggalkan haditsnya
4)
Tingkatan keempat, menunjukkan sangat lemahnya, misalnya:
مطروح الحديث
= orang yang dilempar haditsnya
فلان ضعيف
= orang yang lemah
فلان مردود
الحديث
= orang yang ditolak haditsnya
5)
Tingkatan kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai
hafalannya, misalnya:
فلان لايحتج
به
= orang yang tidak dapat dibuat hujjah haditsnya
فلان مجهول
= orang yang tidak dikenal haditsnya
فلان منكر
الحديث
= orang yang mungkar haditsnya
فلان مضطرب
الحديث
=orang yang kacau haditsnya
فلان واه
= orang yang banyak duga-duga
6)
Tingkatan keenam, menyifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya,
tetapi sifat-sifat itu berdekatan dengan adil, misalnya:
ضعف حديثه
= orang yang di-dha’if-kan haditsnnya
فلان مقال
فيه
= orang yang diperbincangkan
فلان فيه خلف
= orang yang disingkiri
فلان لين
= orang yang lunak
فلان ليس
بالحجة
= orang yang tidak dapat digunakan hujjah haditsnya
فلان ليس
بالقوي
=orang yang tidak kuat
Orang yang di-tajrih menurut tingkat
pertama sampai dengan tingkat keempat, haditsnya tidak dapat dibuat hujjah sama
sekali. Adapun orang-orang yang di-tajrih-kan menurut tingkatan kelima dan
keenam, haditsnya masih dapat diapakai sebagai i’tibar (tempat pembanding).
Syarat-syarat
yang Melakukan al-Jarh Wa at-Ta`dil
Kita tidak boleh menerima begitu saja penilaian
seorang ulama terhadap ulama lainnya melainkan harus jelas dulu sebab-musabab
penilaian tersebut. Terkadang orang yang menganggap orang lain cacat malah
orang tersebut yang cacat. Beranjak dari sanalah dalam kajian al-jarh
wa at-ta`dil selaku ilmu penilaian perawi hadis, terdapat dua kategori
syarat, pertama syarat bagi pelaku yang melakukan al-jarh wa at-ta`dil
dan kedua bagi al-jarh wa at-ta`dil itu sendiri. Adapaun mengenai syarat
bagi ulama yang melakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah :
1). Berilmu,bertakwa, wara’ dan jujur,
2). Ulama tersebut mengetahui sebab-sebab al-jarh
wa at-ta`dil,
3).Mengetahui ungkapan bahasa arab dan penggunaan lafal
dengan benar.
4). Penialaian al-jarh wa at-ta`dil dilakukan
oleh orang adil dan menjauhi fanatik
golongan.
Sementara syarat diterimanya al-jarh wa at-ta`dil
adalah sebagai berikut:
Menjelaskan sebab-sebab melakukan al-jarh dan
tidak perlu menjelaskannya bagi yang melakukan ta`dil
Tidak melakukan al-jarh terhadap perawi
yang sama sekali tidak ada ulama yang mengta`dilnya.
Al-Jarh terlepas dari berbagai hal yang menghalangi
penerimaannya. Salah satu hal yang menghalangi diterimanya al-jarh
adalah keadaan si penilai termasuk dalam orang yang majruh (dinilai
memiliki sifat tercela).
Cara
Mengetahui Keadilan Perawi
Keadilan
seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:
Dengan
kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang
adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi
Anas bin Malik, Sufyan as-Sauri, Sya`ban bin al-Hajjaj, asy-Syaf`i, Ahmad dan
lain-lain. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan
para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang
keadilannya.
Dengan
pujian dari seseorang yang adil (tazkiyyah). Yaitu ditetapkan sebagai
rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita`dilkan
itu belum dikenal sebagai rawi yang adil. Penetapan keadilan seorang rawi
dengan jalan tazkiyyahini dapat dilakukan oleh:
Seorang rawi
yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta`dilkan.
Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena
itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta`dilkan
seorang rawi. Demikian pendapat kebanyakan ulama hadis berlainan dengan
pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang
dalam mentazkiyahkan seorang rawi.
Setiap orang
yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan, baik
orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat
mengadilkannya.
Menilik
kepada fakta sejarah tentang perkembangan al-jarh wa at-ta`dil
dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui sifat pribadi perawi ada dua
metode dasar, yaitu :
Melalui
lisan, dimana seorang kritikus hadis mendengarkan dari gurunya yang menjelaskan
tentang sifat-sifat perawi sebelumnya, yang mana metode ini dikenal dengan
istilah metode at-tahammul wa al-ada’.
Melalui
literatur, mengetahui sifat perawi dengan menggunakan literatur tentunya adalah
membaca hasil simpulan para peneliti sifat perawi sebelumnya, tentunya bahan
bacaan yang dijadikan sebagai literatur utama adalah kitab-kitab yang
menjelaskan sifat-sifat perawi, misalnya al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in
wa ‘Illat al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani
dan kitab lain yang menjelaskan sifat rijal al-hadis.
Selain dari
ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat
ditempuh dengan dua jalan:
Berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah
dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta di kalangan masyarakat,
tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk
menetapkan kecacatannya.
Berdasarkan pentajrihan
dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat.
Demikian ketetapan yang dipegangi oleh para ulama hadis, sedang menurut para
ulama fikih sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki
yang adil.
Beranjak
dari kecacatan perawi, Fathur Rahman telah menyimpulkan ada 5 aspek dasar yang
dianggap sebagai sebab-sebab boleh dihukumkan perawi tersebut memiliki cacat
yang dikenal dengan istilah asbab at-ta`ni (aspek cacat perawi), yaitu :
1. Bid’ah (perawi tersebut melakukan hal yang
dianggap seabgai perbuatan bid’ah)
2. Mukhtalafah (berbeda dengan perawi lain dalam
periwayatan matan hadis)
3. Ghalath (banyak keliru dalam periwayatan)
4. Jahalat
al-Hal (tidak
dikenal identitasnya)
5. Da’wal al
inqitha` (dicurigai
sanadnya tidak tersambung)
Beberapa
Kaidah al-Jarh Wa at-Ta`dil
Sepanjang
kajian al-jarh wa at-ta`dil banyak ketentuan dan kaidah yang harus
diikuti dan kaidah itu umumnya masih belum tersusun secara sistematis yang
intinya adalah tentang pegangan antara al-jarh dan at-ta`dil
yang diamalkan di saat terjadi perbedaan penilaian kritikus dalam
memberikan pujian atau celaan terhadap perawi hadis. Maka dalam hal ini
diperlukan penelitian lebih lanjut tentang yang sebenarnya. Terkadang sebagian
mentajrihkan berdasarkan informasi jarh yang ia terima mengenai
perawi yang bersangkutan, kemudian perawi tersebut bertaubat dan diketahui oleh
sebagian yang lain kemudian menta`dilkannya. Dengan demikian, sebenarnya
tidak ada pertentangan antara keduanya.
A). Cara Penyelesaian Kaidah Kontradiktif dalam al-Jarh
wa at-Ta`dil
Merujuk kepada kesimpulan Prof. Ramli Abdul Wahid
dalam dua bukunya Kamus Lengkap Ilmu Hadis dan Studi Ilmu
Hadis, terdapat enam kaidah yang harus diketahui dalam kajian ilmu al-jarh
wa at-ta`dil untuk menyelesaikan perbedaan penilaian antara mu’addil dan
jarih terhadap perawi hadis yaitu :
“ Celaan didahulukan atas pujian”
Maksudnya apabila seorang perawi yang dinilai oleh
kritikus hadis, tentunya adakalanya penilaian berupa pujian adakala berupa
celaan. Maka yang didahulukan adalah penilaian tercela. Kaidah ini didasarkan
kepada dua alasan, Pertama kritikus yang menyatakan celaan dinilai lebih
mengetahui pribadi periwayat yang dinilainya ketimbang orang yang yang
menilainya adil. Kedua adalah yang menjadi dasar untuk memuji periwayat
adalah persangkaan baik dari orang yang dinilainya, di mana persangkaan baik
itu akan dikalahkan bila ternyata perawi tersebut memiliki celaan yang dinilai
oleh kritikus lain.
Kaidah ini banyak didukung oleh kalangan ulama hadis,
ulama fikih dan ulama usul fikih. Banyak dari mereka yang menganut teori ini,
dan tentunya pengamalan terhadap teori ini tanpa meninggalkan alasan terhadap
celaan yang dialamatkan kepada perawi yang dijarihkan tersebut.
“ Pujian didahulukan atas celaan”
Maksudnya kaidah ini adalah kebalikan dari kaidah yang
sebelumnya, landasan kaidah ini adalah kembali melihat kepada dasar sifat
terpuji yang dimiliki oleh perawi tentunya pujianlah yang tepat diberikan
kepada seorang perawi meskipun ada juga kritikus yang menilainya tercela
belakangan waktu. Salah satu ulama yang mendukung kaidah ini adalah an-Nasai
(w.303 H/915 M). Pada umumnya ulama hadis tidak menerima kaidah ini karena
dalam hubungan ini kritikus yang memberikan pujian tidak mengetahui sifat
tercela yang dimiliki oleh periwayat yang dinilainya tersebut padahal hal itu
diketahui oleh kritikus lainnya.
Ada juga yang berpendapat dalam pemberlakuan kaidah
ini dilihat kepada jumlah pengkritik, jika yang memuji (mua’ddil) lebih
banyak dari yang mencela (jarih) maka yang akan dimenangkan adalah sifat
ta`dilnya. Sebab, jumlah yang banyak itu menguatkan keadaan mereka yang
mengakibatkan hadisnya dapat diterima dan diamalkan. Menurut al-Bulqaini, ta`dil
didahulukan daripada jarh jika mu’addil lebih banyak hafalan
hadisnya di saat antara mu’addil dan jarih memilki jumlah yang
sama.
“ Jika terjadi pertentangan antara yang memuji dan
yang mencela, maka yang didahulukan adalah orang yang memujinya, kecuali yang
mencela menyertai celaannnya dengan alasan dan sebabnya.”
Maksudnya adalah di saat terjadi pertentangan antara
orang yang memuji dan mencela seorang seorang perawi hadis, maka pada dasarnya
yang harus dimenangkan adalah yang memuji kecuali pengkritik tersebut
menyertakan alasan dan bukti kenapa perawi tersebut dicela. Kritikus yang
mampu menjelaskan sebab-sebab tercelanya perawi dianggap dia lebih mengetahui
pribadi perawi ketimbang yang memberikan penilaian terpuji. Inilah pandangan
ulama fikih, usul fikih dan jumhur ulama hadis. Sebagian mereka ada yang
menyatakan bahwa penjelasan tentang celaan yang dikemukan itu harus relevan
dengan mengetahui juga sebab-sebab tercelanya periwayat yang dinilainya itu dan
para ulama memandang bahwa sebab tercelanya tidak relevan atau telah hilang
dari periwayat yang bersangkutan dengan bertaubat, maka yang memuji ketika itu
diutamakan.
“Tidak diterima kritikan tercela dari orang yang
tergolong lemah (dhaif) terhadap perawi yang ?iqah”
Maksudnya apabila kritikus yang menilai seorang perawi
itu tidak ?iqah sedangkan perawi yang dinilainya tersebut ?iqah
maka kritikan tersebut tidak diterima (ghairu maqbul) atau
tertolak. Sebab, orang yang ?iqah dikenal lebih hati-hati daripada
orang yang tidak ?iqah dan kaidah ini didukung oleh jumhur ulama hadis.
“ Celaan tidak diterima kecuali sesudah benar-benar
yakin karena dikhawatirkan terjadi kesamaan orang yang dicelanya”
Maksudnya adalah apabila nama seorang perawi memiliki
kesamaan atau kemiripan dengan nama periwayat yang dicela, maka celaan itu
tidak dapat diterima kecuali sesudah dapat dipastikan bahwa kritik itu
terhindar dari kekeliruan akibat adanya kesamaan atau kemiripan nama. Alasannya
adalah bahwa suatu kritik harus jelas sasarannya, pendukung pendapat ini adalah
jumhur ulama hadis.
“ Celaan yang terjadi akibat permusuhan duniawi tidak
diperhatikan”
Maksudnya apabila seorang kritikus diketahui memiliki
permusuhan dalam masalah keduniaann dengan periwayat yang dinilainya tersebut,
maka kritikannya terhadap periwayat tersebut tidak dapat diterima. Alasannya
adalah karena pertentangan dalam masalah keduniaan dapat menyebakan lahirnya
penilaianya yang subjektif hal ini terjadi karena sebagai manusia,
kritikus mungkin memberikan penilain tercela karena didorong oleh rasa
kebencian.
Menelaah dari enam kaedah tersebut, di saat terjadinya
perbedaan penilaian antara yang memuji dan yang mencela, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
Jarh didahulukan secara mutlaq, karena yang mentajrih
lebih mengetahui sifat pribadi perawi, inilah yang dipegang oleh mayoritas
ulama.
Ta`dil didahulukan dari jarh manakala yang menta`dil
memiliki jumlah yang banyak.
3. Bila jarh dan ta`dil bertentangan,
salah satunya tidak dapat didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang
mengukuhkan salah satunya, maka dihentikan sementara sampai diketahui mana yang
lebih kuat diantaranya.
4. Tetap dalam ta’arrud bila
tidak ditemukan yang mentajrihkannya.
B). Klasifikasi Kritikus Hadis
Dalam memberikan penilaian terhadap periwayat, ulama
kritikus hadis terbagi dalam tiga tingkatan klasifikasi, kelompok yang sangat
ketat (mutasyaddid), kelompok yang bersikap longgar (mutasahil)
dan kelompok yang moderat (mu`tadil). Penilaian positif yang diberikan
olehg kelompok mutasyaddid diperpegangi secara maksimal dan penilaian
negatifnya tidak diperhatikannya jika bertentangan dengan penilaian kritikus
lain.
Ulama yang termasuk dalam tiga klasifikasi kelompok
tersebut adalah :
Kelompok mutasyaddid ialah al-Jaujazani, Abu
Hatim ar-Razi, Ibnu Hatim, an-Nasa’I, Syu`bah, Ibn al-Qattan, Ibn Ma`in, Ibn
al-Madini dan Yahya al-Qaththan.
Kelompok mutasahil ialah Tarmizi, al-Hakim, Ibn
Hibban, al-Bazzar, asy-Syafi`I, ath-Thabrani, Abu Bakar al-Haitsami,
al-Munziri, Ibn Khuzaimah, Ibn as-Sakkan, dan al-Baghawi.
Kelompok mu`tadil ialah al-Bukhari,
ad-Daruqutni, Ahmad, Abu Zar`ah, Ibn `Adi, az-Zahabi dan Ibn Hajar
al-`Asqalani.
Penilaian ta`dil dari kelompok yang bersikap
ketat dipandang kuat, sedang enilaian negative mereka tidak diterima jika jika
bertentangan dengan penilaian kelompok lainnya. Penilaian ta`dil
oleh kelompok mutasahil perlu diperbandingkan dengan penilaian kelompok
lainnya.
Tokoh Dan
Karya Terpopuler Dalam Bidang Al-Jarh Wa At-Ta`dil
Ilmu al-jarh wa at-ta`dil tumbuh bersama periwayatan
dalam Islam, dimana untuk mengetahui hadis yang shahih diperlukan ilmu
pengetahuan tentang perawinya yakni pengetahuan yang memungkinkan ahli ilmu
menilai kejujuran atau kedustaannya sehingga mereka akan mampu membedakan
antara yang bisa diterima dari yang ditolaknya. Dengan ilmu ini mereka
mengetahui sifat pribadi perawi hadis yang diterimanya, ada yang paling hafid,
yang paling kuat ingatannya dan yang paling lama belajar dengan gurunya.
Para imam Hadis sangat cermat dalam menilai para
periwayat, setiap muhaddis akan mereka teliti sifat positif dan
negatifnya. Imam Syafi`i berkata “ Demi Allah, seandainya saya menemukan
kebenaran kebenaran sebanyak sembilan puluh sembilan kali dan melakukan
kesalahan sekali saja saja, maka mereka akan menilaiku berdasarkan satu kali
saja”. Dan menurut jumhur ulama bahwa menjelaskan hal ihwal perawi ini
tidak termasuk ghibath, justru mengandung unsur pemeliharaan terhadap
sunnah dan menjaganya dari segala macam penyusupan serta penjelasan yang shahih
dari yang dha’if. Mereka menjelaskankannya dengan penuh kejujuran dan
keikhlasan.
Di antara para ahli al-jarh wa at-ta`dil
terkemuka adalah Muhammad ibn Sirin (w. 110 H) dan ‘Amir asy-Sya`bi
(19-103 H) dari golongan tabiin. Selanjutnya Syu`bah ibn al-Hajjaj
(82-160H) dan Malik bin Anas (93-179H). Selain itu Sufyan ibn `Uyainah (107-198
H), ‘Abdurrahman ibn Mahdiy (135- 198 H), Yahya ibn Ma’in (158 – 233 H) Imam
Ahmad bin Hambal (162- 241 H) dan Imam ‘Ali ibn ‘Abdullah al-Madini (161 – 234
H).
Setelah itu pada generasi setelah mereka, muncul pula
kritikus yang lain yang terkemuka di antaranya: Muhammad bin ‘Ismail al-Bukhari
(194 – 256 H), Abu Hatim Muhammad bin Idris ar-Razi (195 – 277 H), Abu Zur’ah
‘Ubaidillah bin Abdul Karim ar-Razi (200 – 264 H). Setelah itu muncul pula
generasi demi genarasi ahli al-jarh wa at-ta`dil yang memberikan andil
dalam pemeliharan Sunnah dan membedakan antar Hadis yang shahih dengan yang
cacat.
Karya-karya yang memuat bidang al-jarh wa ta`dil
bisa kita lihat kembali sejarah pengkodifikasian ilmu Hadis pada abad 2 H, di
mana ilmu ini juga merupakan benih yang muncul dari pengkodifikasian hadis.
Sedangkan karya standart terkait ilmu ini mencapai sekitar empat puluhan,
baik yang dicetak maupun yang masih berbentuk manuskrip sampai abad 7 H. Karya
yang mula-mula sampai kepada kita adalah kitab Ma’rifat ar-Rjal
hasilkarya Yahya ibn Ma’in, Kitab ad-Du’afa’ karya Imam Bukhari
dan ad-Du’afa’ wa al-Matrukin karangan Imam Ahmad ibn
Syu’ib `Ali an-Nasa’i (215 – 303 H). Sedangkan yang paling lengkap diantara
karya ulama awal dalam bidang ini adalah kitab al-Jarh wa Ta`dil karya
Abdurrahman ibn Abi Hatim ar-Razi (240 – 327 H). Termasuk karya yang juga
populer dalam bidang ini adalah kitab a?-?iqah karangan
Abi Hatim dan al-Kamil Fi Ma’rifat ad-Du’afa’ al-Muhaddi?in wa ‘Illat
al-Hadi? karya al-Hafiz ‘Abdullah ibn Muhammad al-Jurjani (277 -365 H),
kitab Mizan al-I’tidal karya Imam Syamsyuddin Muhammad ibn Ahmad
az-Zahabi (673- 748 H) dan kitab karya Ibn Hajar al-`Asqalani yaitu kitab Lisan
al-Mizan.
Tinjauan
Analitik
Salah satu hal yang menjadi tinjauan al-jarh wa
at-ta`dil adalah akan digugurkan pengamalan terhadap hadist yang dijarh
beberapa lafal yang telah penulis tuliskan di atas, dari sini kita dapat
melihat bahwa tinjauan utama dilakukan al-jarh wa at-ta`dil adalah untuk
melahirkan keorisinilitas Hadis Rasul.
Perawi yang ditajrihkan dan yang dita`dilkan,
di antara ulama hadist dan ulama fikih berbeda tinjauan mereka
terhadap pengamalan hadist tersebut. Kalangan fuqaha lebih mendahulukan
(mentaqdim) tinjauan ta`dil sedangkan kalangan ulama hadis lebih
mengunggulkan unsur al-jarh. Hal ini menurut analisa penulis adalah
berbeda tinjau mereka dalam melihat kualitas hadis. Di mana ulama hadis melihat
kualitas periwatan dan sanad hadis dan benar-benar terjaga perawi dari hal-hal
yang dicela sedangkan tinjauan ulama fikih adalah melahirkan konsep hukum dari
hadis, maka dalam hal ini ulama fikih tidak terlalu menfilterkan
(mendahulukan ta`dil dari al-jarh) apalagi terhadap amalan yang
bersifat fadhail a’mal.
Penutup
Ilmu al-Jarh wa at-Ta`dil merupakan ilmu untuk
mengetahui sifat-sifat pribadi para perawi hadis Rasulullah, di mana ilmu ini
membicarakan tentang hal-ihwal (keadaan) para periwayat dari segi diterima atau
ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis. Dengan demikian dapat dipahami
pentingnya kedudukan ‘ilmu al- jarh wa at-ta`dil ini dalam Islam karena
dengan ilmu inilah seseorang dapat mengetahui shahih atau tidaknya sanad sebuah
hadis.
Dengan ilmu ini kita juga dapat mengatahui ke?iqahan
seorang perawi dengan lainnya, karena para tokoh dalam ilmu al-jarh wa
at-ta`dil telah menyimpulkan sifat dan penilaian mereka terhadap para
perawi hadis. Hal ini dapat dilihat dalam keragaman hasil karya mereka dalam
karya-karya yang memuat ilmu al-jarh wa at-ta`dil sebagaimana telah
penulis jelaskan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itar Nur al-din, al-Hadis wa ‘Ulumuhu.
Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
——————, Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis.
Beirut: Dar al-Fikr t.t.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma`il. Sahih al-Bukhari:
al-Jami’ as-Sahih al-Mukhtasar. Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987.
Al-Gurabi, Mustafa. Tarikh al-Firaq al-Islamiyah.
Mesir: Muhammad Ali Shabih wa-Awladuhu, 1959.
Al-Jazari, Jami’ al-Usul fi Ahadis ar-Rasul. Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj. Usul al-Hadis: ‘Ulumuh
wa Mustalahuh. Terj. M. Nur Ahmad Musafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis .
Jakarta: Gaya Media Pratama,2007.
An-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001
As-Sayuti, Jalal ad-Din. Tadrib ar-Rawi.
Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
As-Siddiqie, Hasbi. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis . Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
At-Tahanawi, Ahmad al-‘Usmani. Qawa’id ‘Ulum
al-Hadis. Tt: Maktabah al-Matbu’at al-Islamiyah 1404 H/1984 M.
At-Tahhan, Mahmud. Metode Takhrij Dan Penelitian
Sanad Hadis. Surabaya: Bina Ilmu, 1995.
—————————, Tafsir Mustalah al-Hadis, terj.
Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi.
Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997.
At-Tirmizi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa. Sunan
at-Tirmizi: al-Jami’ as-Sahih Sunan at-Tirmizii. Beirut: Dar al-Ihya
at-turas al-`Arabi, tt.
Dahlan, Abdul Aziz. et.al., Ensiklopedi Hukum Islam.
Jakarta: Ichtiar Van Hoeve 1996.
Husain, Abu Lubabah. al-Jarh wa at-Ta`dil.
Riyadh: Dar al-Liwa’ li an-Nasyr at-Tauzi’ 1394 H/1974 M.
Khadijah, dkk. Ulumul Hadis. Medan:
Perdana Publishing, 2011.
Mansur, Ibn. Lisan ‘Arab. Beirut: Dar
al-Fikr, 1990.
Rahman, Fatchur. Ikhtisar Masthalah
Hadis. Bandung: al-Ma’arif, 1995
Soetari, Endang. Ilmu Hadis: Kajian Riwayah dan
Dirayah. Bandung: Mimbar Pustaka, 2005.
Suparta, Munzir. Ilmu Hadis. Jakarta: Raja
Grafindo, tt.
Wahid, Ramli Abdul dan Husnel Anwar Matondang, Kamus
Lengkap Ilmu Hadis. Medan: Pedana Publishing, 2011.
Wahid, Ramli Abdul, Studi Ilmu Hadis; Edisi Revisi.
Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011.
————————-, Fikih Sunnah Dalam Sorotan.
Medan: LP21K, 2005.