Minggu, 04 Desember 2011

EPISTEMOLOGI USHUL FIQH

Pembukaan

Agama (al-dien) adalah ide murni, atau system ide dan kepercayaan yang bersifat Ilahiyah, berkenaan dengan ketaatan pada Tuhan, dan disampaikan kepada nabi-nabi. Dalam Islam, ide murni itu berbentuk wahyu yang termuat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ide ini tidak bisa diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Berbeda dengan pemikiran agama (Islamologi) yang seluruhnya merupakan produk manusia dan sangat berkaitan dengan masyarakat. Konsep ini tidak bisa dipisahkan dari realitas tertentu dan sejarah masyarakat. Karena itu, Islamologi inilah gagasan ide Ilahiah yang dapat diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Dengan kata lain, kita harus membedakan antara Agama dan pemikiran Agama. Salah satu pemikiran Agama adalah Ushul-Fiqh. Ilmu metodologi ini memiliki susunan yang pada umumnya terjadi kontroversi antara proposisi-proposisi dengan logika dan bahasa. Meskipun begitu, secara ontologis ilmu ini dapat dikelompokkan menjadi empat point yaitu (1) nilai-nilai aturan hokum (2) dasar-dasar aturan hokum (al-adillah al-syar’iah) (3) cara atau metoda menganalogikan dalil menjadi hokum, dan (4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif, dan tarjih.
     Ushul-fiqh merupakan khazanah kekayaan ilmu yang secara langsung atau tidak langsung, turut memperkaya model keagamaan kita. Pelaksanaan syariat Islam akan susah seandainya ilmu ini tidak ada, sebab ushul-fiqh dianggap sebagai penuntun fiqh yang merupakan jawaban bagi kehidupan kita. Ilmu ini dapat menjawab beberapa masalah yang diajukan, maka agar kita dapat memanfaatkan, kita harus mengetahui jawaban apa yang perlu dibawakan oleh ilmu ini, setelah kita mengajukan pertanyaan. Di sini kita memerlukan jawaban yang benar, dan bukan debat kusir atau jawaban plintiran (safsathah). Lalu muncul pertanyaan, bagaimana kita mencari jawaban yang benar? Masalah ini, oleh kajian filsafat disebut epistemology, dan landasan epistemo-logi ilmu disebut metoda ilmiah. Dengan kata lain, metoda ilmiah adalah cara yang dilakukan itu dalam menyusun pengetahuan yang oleh filsafat ilmu disebut teori kebenaran.
Ushul-fiqh mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya, epistemology ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemilogi ushul-fiqh, maka kita harus mengaitkannya dengan ontology, dan aksiologi. Tetapi dalam tulisan ini, kita hanya membahas tentang  epistemology, dan itu pun memakai kerangka berfikir penelitian ilmu social.

1. Pendekatan Humanistik   
Permasalahan yang sering muncul adalah bahwa kerja ushul-fiqh itu objektif atau subjektif. Demikian karena banyak sekali materi fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh, beda pendapat antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Cara berfikir ushuliyun selalu memakai pendekatan kwalitatif, maka oleh sebagian ilmuan dianggap tidak objektif. Berbeda dengan paradigma ilmu yang memakai  pendekatan kwantitatif, yang serba ilmiah dan terkontrol. Hal ini diakui oleh ushuliyun sendiri, dan tidak akan menolak.
Memang kerja ushul-fiqh sedikit mengabaikan prinsip objektifitas, jika istilah objektif sebagai aturan ilmu yang harus terukur, ada keberulangan, dan perilaku yang dapat diramalkan. Hampir semua ushuliyun tidak berfikir seperti itu, karena ushul-fiqh berhubungan dengan perilaku manusia (af’al mukallafin), maka subjektivitas tetap memiliki peran tersendiri. Ushul-fiqh yang selalu menekankan pada pendekatan subjektivitas, biasanya disebut studi humanistik. Paham ini berpandangan bahwa fiqh yang dikelola oleh ushul-fiqh bukan harga mati, tetapi wilayah interpretative.
Menurut pandangan ahli-ahli rasional, teratur, atau sistematik, perilaku manusia bersifat kontektual berdasarkan makna yang diberikan di lingkungannya. Kalau ilmu di luar humaniora lebih ditekankan pada ‘kedisiplinan’, humaniora justru kearah interpretasi alternatif. Posisi ilmu humaniora, termasuk ushul-fiqh adalah pada ‘siapa’ dan menentukan ‘apa yang dilihat’. Menurut paham ini realitas perbuatan manusia termasuk fenomena yang cair dan mudah berubah. Fenomena ini bersifat polisemik yang memerlukan penafsiran. Jadi kerja ushul-fiqh selalu bergerak pada ‘koma-koma’ bukan berhenti pada satu titik.
Persoalan objective ilmiah dan subjektivitas tidak ilmiah, memang telah lama ditujukan pada semua ilmu agama, termasuk ushul-fiqh. Apalagi ilmu ini menyajikan penafsiran dan hermeunitika. Tentu saja penafsiran semacam ini keberatan jika dikait-kan dengan penilaian objektif dan subjektif. Tetapi muncullah beberapa tokoh sosio-log yang mengatakan bahwa objektivitas itu hanya berlaku bagi ilmu alam. Dengan kata lain, ilmu agama memiliki kateristik tersendiri. Karena itu subjektivitas interpre-ter yang sering memasukkan resepsi, kepekaan, akal sehat, dan pendapat yang terbuka, mestinya tidak harus sama persis dengan “self-understanding”. Itulah maka objektivitas dalam ilmu social, ilmu budaya, termasuk ushul-fiqh tidak bisa absolut.
Ketika ushul-fiqh dianggap sebagai karya pemikiran dalam Islam (tsaqafah Islamiah), muncullah dilematis apakah ushul-fiqh itu sebagai ilmu atau sebagai seni berdebat. Begitu pula ketika para ilmuan melihat perdebatan dalam Islam antara ahli hadits dan ahli rakyu, dalam memecahkan konsep syari’ah, mereka bertanya, apakah ushul-fiqh itu Agama atau ilmu agama. Kalau ushul-fiqh dipandang sebagai Agama, (bukan ilmu agama) lalu sampai dimana kita memperlakukannya sebagi sumber data untuk membangun teori yang dianggap objective. Kenyataan ini membutuhkan kesadaran baru yang menjadi ciri postmodernisme. Yaitu bahwa representasi, suatu penyajian dalam perbandingan mazhab misalnya, tentang suatu aliran ushul-fiqh, pada dasarnya tidak pernah menyajikan gambaran sebagaimana adanya. Penyajian atau uraian itu telah dibungkus dalam kemasan tertentu. Ushul-fiqh sebagai teks tidak bisa diuraikan apa adanya tetapi mengalami ‘distorsi’ tertentu setelah melalui proses penafsiran (syarah).
Ushul-fiqh selalu muncul dalam kerangka berfikir tertentu dan tidak bisa bebas begitu saja. Tetapi dalam penyajiannya selalu muncul nilai subjektivitas di dalamnya.  Karena itu, meskipun mulanya ushul-fiqh itu gagasan al-Syafi’iy untuk membangun mazhabnya, tetapi dalam perkembangannya, mucullah Ushl-fiqh Zaidiyah, Ushul-fiqh Mu’tazilah, Ushul-Fiqh Syi’ah, Ushul-fiqh Hanafiyah, Ushul-fiqh Zhahiri, dan sebagainya. Lalu apa artinya kebenaran ilmiah ? Kebenaran ilmiah bersifat relatif, kondisional, dan tergantung konsensus atau kesepakatan. Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu soasial atau budaya termasuk ushul-fiqh. Karena itu, setiap ushuliyyun harus siap menerima kritik atas kekurang tepatan analisanya. Dalam kaitan ini, Abdulwahhab al-Sya’rani berkata : Mazhab kami adalah benar, tetapi mungkin juga salah. Mazhab di luar kami adalah salah, tetapi mungkin juga benar. Demikian ini tertuang dalam kitab klasik berjudul Mizan al-Kubra, maka nilai pluralis ini termasuk ciri postmodernism.
Perkembangan selanjutnya, bahwa ahli-ahli perbandingan mazhab dapat menyusun kesadaran ‘subjektivitas’ yang selanjutnya diarahkan pada penulisan biog-rafi individu (tokoh).
Dalam konteks modernis yang kaku, ushuliyyun berpandangan harus objektif, memiliki otoritas, netral dari mazhab, dan selalu mengolah teks dengan objektif. Padahal fiqh yang dikelola melalui ushul-fiqh selalu berubah karena perubahan waktu dan tempat, akibatnya makna teks bisa plural dan bisa berkembang. Jadi pemikiran semacam itu harus ditata ulang kalau dia akan mempelajari ilmu ushul-fiqh.
Memahami pendapat tokoh memang sangat menarik, sama seperti menariknya mempelajari perbedaan subjective dan objective bagi orang yang berpendapat dan pendukung. Permasalahan ini akan terkait pula dengan soal ilmiah atau tidak ilmiah, ilmuan atau propagandis, akademis atau idiologis, dan begitulah seterusnya. Padahal uraian yang dinilai seperti itu tergantung bagaimana tokoh itu menguraikan.
Pada waktu positivisme menjadi idola setiap ilmuan, semua pemikiran yang tidak objective dinilai lemah, termasuk kerangka kerja ushul-fiqh. Tetapi setelah muncul strukturalisme, dan teori ini bisa diterapkan pada penggalian fiqih yang ijtihadnya ditata rapih, maka bisa ditemukan objektivitas. Terutama jika strukturalis itu berupaya menemukan masalah penting dalam setiap uraian fiqh yang disajikan, seperti kesimpulan: lebih manfaat, lebih maslahat, lebih adil dan semacamnya. Lebih lagi jika semua itu tidak terjebak pada alam khayal realis, melainkan selalu berpegang pada bahasa sebagai alat pemikiran.
Disitu jelaslah bahwa ushul-fiqh yang bisa dipandang bernilai subjective, tidak ilmiah, terlalu keagama-agamaan itu sebenarnya tidak benar. Disiplin ilmu ushul-fiqh tetap mengedepankan aspek kebenaran tertentu sejalan dengan tujuan, metoda, hubungan antara dalil dan mad-lul, dan analisis yang berwawasan lain dengan pendekatan objective. Perbedaan ini tidak berarti bahwa kerja ushul-fiqh itu hanya asal-asalan, melainkan berusaha memahami fenomena liwat subjective yang tidak mungkin terfahami melalui objektivitas.

Mushawwibah dan Mukhaththiah
Di dalam Islam, semua teks (al-Qur’an dan al-Hadits) yang berbentuk zhanni (dugaan) maka makna yang muncul dari teks itu selalu dirumuskan dalam kesimpulan yang berbeda-beda (mukhtalaf fih). Bagi pengikut teori mushawwibah akan mengatakan bahwa semua kesimpulan yang beda-beda itu, yang benar tidak satu, bahkan bisa juga semuanya benar. Demikian jika semua mujtahidnya menampilkan kerangka berfikir yang sejalan dengan jalur ushul-fiqh. Sedangkan pengikut mukhath-thiah akan berpendapat bahwa semua kesimpilan yang banyak itu, yang benar cuma satu saja, apalagi jika beberapa kesimpulan tadi ada nilai kontradiktif.
Penilaian semacam itu muncul karena ushul-fiqh atau kerangka berfikir fiqh memanfaatkan penalaran subjective dan paradigma kwalitative. Penalaran semacam ini kurang memiliki kebenaran pada tingkat tertentu. Kebenaran ushul-fiqh dianggap mengada-ada dan spekulasi yang merancang. Tentu saja asumsi seperti itu tidak selalu benar. Meskipun begitu, pengembangan ushul-fiqh seyogyanya berusaha keras untuk meyakinkan orang lain, bahwa fiqh yang diproduksinya memiliki kadar logika dan kebenaran.
Logika dan kebenaran dalam ushul-fiqh tidak berbeda dengan metoda penelitian ilmu social atau ilmu budaya. Logika tetap menjadi wahana untuk mencari kebenaran. Meskipun begitu, banyak sekali macam-macam logika yang dipergunakan untuk mencapai kebenaran itu. Tetapi tidak semuanya relevan bagi pengembangan ushul-fiqh. Macam-macam logika itu antara lain : (a) logika formal. Logika ini berusaha mencari kebenaran dengan mencari relasi antar muqaddimah shugra dan kubra dengan tujuan untuk menggeneralisasikan natijah yang ada pada setiap syakal (qiyas manthiqi). Logika ini tidak bisa diterapkan dalam ushul-fiqh. karena ushul-fiqh tidak mengejar qiyas-qiyas manthiqi seperti itu, tetapi transferabilitas. (b) logika matematik. Logika ini pencarian kebenaran dengan mencari relasi proposisi menurut kebenaran materiil seperti tiga kali tiga itu sembilan. Logika ini didukung oleh rerata yang pasti  dan terukur. Andalan logika ini adalah adanya dalil, aturan, dan rumus-rumus pasti. Logika semacam ini dimanfaatkan oleh statistika dan bisa berlaku bagi penelitian ilmu social, ilmu budaya, termasuk ilmu agama yang penganut faham posistivistik. (c) Logika reflektif, yaitu cara berfikir dengan sangat cepat, untuk mengabstraksikan  dan penjabaran. Logika ini berlangsung cepat dan bisa memanfaatkan daya intuisi. Dalam ilmu tasawwuf, logika ini disebut pendekatan dzauqi yang bisa berkembang sampai laduni. (d) logika kwalitatif, yakni pencarian kebenaran berdasarkan paparan deskriptif data di lapangan atau di perpustakaan. Kwalitas kebenarannya didasarkan pada realitas yang ada. (e) logika linguistik, yaitu pencarian kebenaran berdasarkan pemakaian bahasa. Logika ini banyak diminati oleh penelitian al-Qur’an dan semacam penelitian yang memerlukan penafsiran.
Dari macam-macam logika di atas, ushul-fiqh cenderung memanfaatkan logika kwalitatif dan logika linguistik. Suatu saat logika reflektif pun dipakai pula, terutama untuk mengembangkan dalil metodologis seperti istihsan dan mashalih mursalah. Logika kwalitatif banyak dipergunakan untuk mengembangkan dalil sosiologis seperti ijma’, qaul shahabi, dan lain-lain. Sedangkan logika linguistik dipergunakan untuk mengembangkan dalil normative, yaitu al-Qur’an dan teks al-Hadits.
Dari segi lain, logika kwalitatif biasanya dipergunakan untuk lingkup kebenaran yang terbatas. Artinya, kebenaran yang dicapai bukan sebuah wacana yang berlaku universal, melainkan hanya pada tingkat local, atau kasus tertentu saja. Karena itu, kebenaran kwalitatif bersifat lebih spesifik dan tidak menghendaki adanya regualitas. Oleh karena itu teks atau kasus yang dikelola memakai logika kwalitatif akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda. Hal ini bukan berarti kebenaran semacam itu lemah, tetapi tetap menggunakan dalil berdasarkan realitas. Itulah suatu fenomena yang oleh Islam disebut rahmatan lil’alamin.
Dulu, penelitian ilmu social dan ilmu budaya diarahkan pada pemikiran objektif dan matematis. Tetapi setelah mereka mulai meninggalkan logika tradisi, dan ingin mencari kebenaran baru yang lebih orisinil, mereka mengejar perkembangan yang disebut postmodernisme. Kalau perkembangan ilmu itu seperti itu, maka akan berte-mu dengan ushul-fiqh yang kebenarannya didasarkan pada argumentasi, imajinasi, dan common sense (akal sehat).
Kebenaran dalam ushul-fiqh adalah nisbi (zhanni) dan relative (mukhtalaf fih), dan menganut hokum probabilitas (ijtihadiah). Titik tolak ushuliyun semacam itu adalah kebenaran kreatif  cerdas, dan tidak menyalahkan orang lain seperti meng-hakimi salah, bid’ah, jumud, dan sebagainya. Tentu saja pendirian ushuliyun seperti itu tidak disetujui oleh agamawan yang taat pada kebenaran matematis.Di antara mereka ada yang berkata : Allah itu satu. Nabi Muhammad itu satu, dan Al-Qur’an juga satu, maka seharusnya pemikiran Islam pun satu pula (bersatu). Padahal sulit dipungkiri bahwa kebenaran kreatif pun akan mampu mewadahi aspirasi kebenaran yang kecil-kecil, yaitu kebenaran yang jarang teradopsi oleh ilmuan yang selalu berfikir global.
Perlu dipertimbangkan, baik oleh pengikut mushawwibah atau mukhaththiah bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) adalah unik, dan inilah yang menjadi objek pembahasan ushul-fiqh. Oleh karena itu tuntutan kebenaran dan atau objek-tivitas ushul-fiqh hendaknya dicari bukan seperti fenomena alam. Jika fenomena alam ada hal-hal yang secara fisik teramati, terulang, dan teratur, maka perilaku manusia tidak selamanya bergerak seperti itu, bahkan selalu bias. Tingkat bias ini hanya mampu diolah menjadi objective apabila dilukiskan secara verstehen (mudah terfahami). Jika fiqh yang diproduksi melalui ushul-fiqh tadi dapat diterima oleh masyarakat, berarti dalam ushul-fiqh tadi ada kejelasan. Kejelasan inilah yang disebut kebenaran.
Jadi kalau kebenaran ilmuan objective lebih menyukai penjelasan logis, maka ushul-fiqh menyajikan penjelasan yang berisi penafsiran. Kalau kebenaran objective ingin melihat pembakuan pengamatan yang teratur, maka penglolaan ushul-fiqh bersifat humanistic yang kreatif. Dengan kata lain kebenaran ushul-fiqh lebih menitik beratkan pada aspek humanistic kemanusiaan. Itulah sebabnya, ushul fiqh dinilai unik yang memandang bahwa perilaku manusia satu sama lain tidak selalu sama. Dengan demikian, orang yang berpendapat bahwa Ushul-fiqh al-Syafi’iy itu mirip dengan Manthiq Plato atau Aristotales, itu tidak benar. Karena kebenaran Manthiq memiliki hubungan kausalitas yang jelas dan harus relasional yang memungkinkan kontrol proposisi. Sedangkan kebenaran Ushul-Fiqh ditekankan pada penafsiran logic yang kadang-kadang bercampur dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Oleh karena itu, melalui penafsiran semacam ini, Ushul-Fqh lebih mampu memasuki sisi-sisi perso-alan hukum yang berkaitan dengan perilaku umat (af’al al-mukallafin).
Lebih dari itu, kebenaran ushul-fiqh bukan hal yang dirancang ada, tetapi harus dicari dalam konteks. Ushuliyun hanya bertugas menghimpun, mengorganisasi, mengklasifikasi, dan menglola dalil-dalil fiqhiyah untuk keperluan fiqih.

Ushul-fiqh aliran Rakyu dan aliran Mutakallimin
Penerapan ushul-fiqh sering direpotkan ketika ushuliyun akan membuat fiqh, terutama ketika mencari bentuk aliran, apakah ushul-fiqh aliran rakyu atau aliran mutakallimin. Dua aliran ini, secara etimologis memang bertolak belakang. Keduanya memiliki implikasi metodologis yang berbeda. Padahal keduanya sama-sama dimanfaatkan oleh imam-imam mujtahid.
Rakyu adalah aliran dalam ushul-fiqh yang teori-teorinya dibangun atau disusun sesudah fiqh terbentuk. Artinya, mujtahid ini mengamati perilaku orang-orang mukallaf yang ada pada masyarakat, kemudian dia memproduk fiqh secara induktif. Setelah itu disusunlah ushul-fiqh untuk dasar-dasar pengembangannya, di samping kaidah fiqhnya juga. Karena itu, uruf (tradisi), mashalih al-mursalah, dan istihsan di-ambil sebagai dasar hukum fiqh. Ushul-fiqh aliran ini dipakai oleh Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mu’tazilah. Dalil-dalil ini, biasanya dirumuskan berdasarkan istiqra (penelitian) untuk mencari bentuk fiqh.
Sebaliknya, jika mujtahid itu menyusun ushul-fiqh dulu, kemudian memproduki fiqh berdasarkan ushul-fiqh tadi, berati ushul fiqh ini disebut aliran mutakallimin. Aliran ini berfikir deduktif, dengan menyesuaikan perilaku umat (af’al al-mukallafin), kepada teori-teori ushul-fiqh tadi. Aliran ini dipakai antara lain oleh Mazhab Syafi’iy, Mazhab Hanbali, Mazhab Zhahiri, dan Mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah. Aliran ini tidak mau memakai ‘uruf, mashalih al-mursalah, dan istihsan, karena semua dalil ini bisa bertentangan dengan qiyas ‘am. Aliran ini, tambahan dalil pokoknya adalah istish-hab, yaitu dalil yang memandang persoalan hokum, selama tidak ada dalil yang mengubah maka tetap berlaku sampai sekarang dan masa depan.
Ushul fiqh model ini agak sempit dan seperti membatasi diri pada kondisi lapangan tertentu, terutama jika kita melihat perkembangan kehidupan yang cepat berubah. Akibatnya, teori-teori ushul-fiqh hanya terpaku pada pemahaman dasar (al-Qur’an, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas) dan beberapa dalil yang berorientasi ke belakang seperti istishhab, dan syara’ man qablana. Dengan kata lain, ada kelemahan bagi aliran ini, yaitu kurang menghargai fenomena dan realitas. Berbeda dengan aliran rakyu yang menggunakan dalil ‘uruf dan istihsan, bisa masuk ke dalam rangka (a) Ushuliyun bisa mengolah semua permasalahan yang muncul di tengah masyara-kat, dengan teori-teori ushul-fiqhnya. (b) Ushuliyun bisa berhubungan langsung secara akrab dengan masyarakat yang memakai mazhab tertentu (c) Ushuliyun dapat menguraikan latar belakang secara penuh, sehingga uraian fiqhnya bisa mengangkat dalil-dalil kulli dengan meninggalkan dalil juz’iy yang sama-sama zhanni.

2. Pendekatan Emik dan Etik
Ada dua cara pandang (pendekatan) yang saling bertolak belakang. Dua pendekatan ini disebut pendekatan emik (fonemik) dan pendekatan etik (fonetik). Awalnya, pendekatan ini muncul dari istilah linguistik, yang dalam ilmu budaya dipopulerkan oleh Kenneth Pike. Dalam Kitab Klasik, teori ini pernah dikembangan oleh Ibn Jinni dan al-Jurjani. Menurut Ja’far Dikki, teori Ibn Jinni dan teori Al-Jurjani saling melengkapi untuk membangun teori linguistik yang baru. Penggabungan dua teori tersebut adalah (a) Penggabungan antara studi diakronik Al-Jurjani dan singkronik Ibn Jinni merupakan hal yang signifikan (b) Teori Ibn Jinni yang mengatakan bahwa bahasa tidak terbentuk seketika, tetapi berproses, dan teori Al-Jurjani tentang hubungan antara bahasa dan pertumbuhan pemikiran, merupakan hal yang saling terkait. Dengan demikian bahasa dengan segala aturannya tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan pemikiran manusia. Teori dua tokoh tadi mengembangkan aliran linguistik Abu Ali al-Farisi, yang kateristik umumnya adalah (a) Bahasa pada dasarnya terbetuk secara system. (b) Bahasa merupakan fenomena social dan strukturnya terkait dengan fungsi transmisi yang melekat pada bahasa tersebut. (c) Adanya kesesuaian antara bahasa dan pemikiran. Dari segi lain, ahli-ahli linguistik mempelajari kamus Maqayis al-Lughat karya Ibn Faris. Tokoh ini meng-embangakan teori gurunya, yaitu Sa’lab yang membedakan antara kata benda sebagai subjek (ism dzat) dan kata benda sebagai sifat (ism shifat). Tampaknya, dari teori semacam inilah muncul gagasan tentang emik dan etik untuk mengembangkan ilmu sosial dan ilmu budaya, dan sekarang dicoba untuk mengembangkan ushul-fiqh.
Secara epistemologis, pendekatan etik dan emik memiliki implikasi yang berbe-da. Jika ushuliyun berusaha mengembangkan ushul-fiqh menurut mazhab universal dengan menggunakan cara-cara yang ditentukan sebelumnya, maka cara ini, oleh teori linguistik disebut etik. Sebaliknya, jika pengembangan ushul-fiqh itu berdasar-kan mazhab regional (mazhab Syafi’iy saja misalnya) maka berarti ushuliyun telah mengembangkan ushul-fiqh dengan pendekatan emik. Bagi ushuliyun bisa juga menggunakan salah satu pendekatan, dan atau menggunakan keduanya. Yang penting mereka memperhatikan konsistensi pemanfaatan keduanya, agar tidak terjadi campur aduk. Kedua pendekatan ini memiliki kelemahan masing-masing dan sekaligus memiliki kekuatan tertentu.   
Menurut Marvin Harris, istilah etik dan emik akan berhubungan dengan masalah objektif dan subjektif. Etik bersifat sangat tertutup dalam hal makna, seperti prinsip objektif. Tetapi emik tidak bisa disejajarkan dengan subjektif saja tetapi bisa juga disejajarkan dengan objektif dan subjektif sekali gus. Kalau teori ini diterapkan pada ushul-fiqh universal dan ushul-fiqh regional, maka bisa berhubungan dengan objektif dan subjektif dalam penerapan. Artinya, jika dalam ushul-fiqh tadi ushuliyun mengo-lah dalil normative (tsk al-Qur’an dan teks al-Hadits), maka bisa menemukan objektif dan subjektif. Tetapi jika mereka mengolah dalil metodologis seperti istihsan maka dia akan terjadi subjektif. Jadi perbedaan antara objektif dan subjektif dan penyebutan ushul-fiqh regional dan universal, tergantung penggunaannya.
Jelasnya, pendekatan etik dan emik merupakan landasan norma pengembangan penelitian yang berusaha memahami tingkah laku manusia. Tingkah laku tersebut penuh dengan makna, karena di dalamnya terdapat aneka macam symbol aksi. Begitu pula ushul-fiqh yang mengambil istilah mazhab regional dan mazhab universal, meru-pakan landasan pengembangan ushul-fiqh itu sendiri, yang berusaha memahami tingkah laku manusia (af’al al-mukallafin). Tingkah laku ini penuh dengan makna (penilaian), karena di dalamnya terdapat berbagai aksi (akidah, niat, ucapan, gerakan dan perbuatan).
Pendekatan mazhab regional dan mazhab universal pada dasarnya merefer pada sudut pengembangan ushul fiqh itu sendiri. Jika ushuliyun itu mendasarkan pengem-bangannya pada mazhabnya sendiri, berarti dia mengembangkan ushul-fiqh regional. Dan jika dia menggunakan sudut pandang beberapa mazhab, berarti dia menggunakan ushul-fiqh akurat apabila dia mampu menangkap persamaan dan perbedaan pendapat beberapa tokohnya, selanjutnya dikategorikan dan dicari signifikasi teori secara penuh. Berarti pengambilan mazhab regional lebih memperhatikan teori yang lebih aspiratif. Sebaliknya, pemaparan ushul-fiqh universal lebih tergantung pada kejelian ushuliyun itu sendiri, dalam menampilkan suatu teori secara ilmiah.
Jika ushuliyun itu pengembangannya memilih ushul-fiqh mazhab universal, pada akhirnya dia harus melakukan generalisasi. Pada saat itu dia harus melakukan beberapa hal. (a) dia harus mengelompokkan secara sistematis seluruh pendapat atau teori ushul-fiqh yang ada, ke dalam system tunggal. (b) dia menyediakan ukuran atau kriteria untuk klasifikasi setiap dalil yang menunjang teori-teori ushul-fiqhnya. (c) dia mengorganisasikan teori yang telah diklasifikasikan ke dalam type-type tertentu. (d) menganalisa, menemukan, dan menguraikan setiap teori (qaul) dan argumentasinya ke dalam kerangka system yang telah dibuat, sebelum dia mempelajari ushul-fiqh.
Sebaliknya, pendekatan ushul-fiqh mazhab regional termasuk ushul-fiqh mazhabnya sendiri, merupakan esensi yang shahih untuk fenomena fiqh pada suatu waktu tertentu. Pendekatan ini relevan sebagai usaha untuk mengungkap pola-pola fiqh menurut persepsi mazhabnya. Pendekatan ini menegaskan bahwa konsepnya muncul dari ushuliyun sendiri. Berbeda dengan pengembangan ushul-fiqh universal, ushuliyun berdiri di luar mazhabnya sendiri. Pendekatan pertama (regional) akan terkait dengan keseluruhan teori  mazhabnya, dan akan menekankan pada kenisbian. Pendekatan ini lebih natural dalam mereprosentasikan teori ushul-fiqh dan sejalan dengan konsep ushul-fiqh secara operasional. Sedangkan ushul-fiqh universal ditekankan pada sikap mutlak. Dari satu segi, pendekatan ini kurang natural, dan sejajar dengan teori ushul-fiqh secara kognitif. 
Jika kedua pendekatan itu diperbandingkan maka akan tergambar dalam karakte-ristik sebagai berikut.
     Pendekatan ushul-fiqh regional adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku masyarakat (af’al al-mukallafin) yang mengikuti mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun hanya mempelajari ushul-fiqh dari mazhabnya sendiri, yaitu ushul-fiqh al-Syafi’iy misalnya, yang ditulis oleh beberapa tokoh mazhab itu. (c) Struktur ushul-fiqh diten-tukan oleh kondisi dan situasi jama’ah yang mengamalkan fiqhnya. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat relatif dan terbatas.
Sedangkan ushul-fiqh universal adalah (a) Ushuliyun akan mempelajari perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dari luar mazhabnya sendiri. (b) Ushuliyun akan mempelajari ushul-fiqh dari berbagai mazhab dan membandingkannya satu sama lain. (c) Struktur ushul-fiqh ditentukan oleh ushuliyun itu sendiri dengan membangun konseptual. (d) Kriteria ushul-fiqh bersifat mutlak, ada generalisasi dan berlaku universal.
Dari karakteristik seperti itu, tampak bahwa ushuliyun regional akan menjadikan dirinya sebagai bagian utuh dari mazhab itu. Ushuliyun ini ikut merasakan dan bertindak sebagai partisipan penuh. Kehadiran ushuliyun seperti ini menentukan ke-berhasilan. Tentu saja subjektivitas pun tetap sulit dihindarkan. Apalagi ushuliyun tadi pendukung mazhabnya. Jika dia tidak mampu mengambil jarak, bisa terjadi bias. Sedangkan pengembang ushul-fiqh universal, otoritas ushuliyun sangat menentukan. Kemampuan mereka membangun konsep yang akan diterapkan, amat menentukan keberhasilan.

3. Pendekatan Positivistis dan Naturalistis
Dulu, gagasan positivistic itu dicetuskan oleh Ibn Taymia. Tetapi karena ia wafat dalam tahanan dan buku-bukunya baru beredar setelah lima ratus tahun, maka gagasan semacam itu mandeg, kata Nurcholis Madjid. Setelah muncul falsafat Agust Comte (1798-1875)  dan tulisan Emil Durkheim (1858-1917) banyak ilmuan yang mengambil falsafat ini sebagai pendekatan penelitian. Filsafat ini berfikir statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan faham ini sering manganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Begitu pula Ibn Taymia mengembangkan pemikiran tekstualis, realistis, dan tidak menerima ta’wil. Ia juga tidak menerima berfikir teologis, terutama pemikiran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Dalam kitabnya, Al-Radd ‘alal Manthiqiyin, Ibn Taymia menolak berfikir falsafati yang membuat konsep-konsep yang abstrak dan subjektif. Dalam kitab itu, tulisan yang berfikir manthiqi seperti konsep definisi, silogisme dan lain-lain ditolak, yang kadang-kadang dikuatkan dengan menampilkan dalil al-Qur’an. Terhadap pemikiran tasawwuf falsafi, seperti pemikiran al-Hallaj, Abu Yazid al-Busthami, dan Ibn Arabi, semua itu berfikir subjektif dan khayalis, bahkan semua itu dinilai ‘kafir’. Dengan kata lain positifistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Dalam pandangan Durkheim, dasar pendekatan positivistic adalah logika mate-matis yang penuh teori logika deduktif. Kevalidan karya positivisme dengan cara mengandalkan fakta empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Kalau konsep semacam ini diterapkan pada pemikiran Ibn Taymia, maka ada dua dasar, yaitu (a) teks al-Qur’an dan teks al-Hadits dinilai sebagai pusat, dan pemahaman yang diluar teks  adalah sebagai dunia yang gelap. Maka untuk mengetahui yang gelap itu, ilmuan harus masuk pada tingkat hakikat, yaitu makna empirik (tektualis), bukan ta’-wil atau kinayah dan sebagianya. (b) teks tidak dipandang sebagai pusat, tetapi sebagi satu titik dari deretan titik yang disebut kenyataan. Karena kedudukan seperti ini, maka teks tidak harus mengetahui hukum (yang gelap) yang berlaku pada dunia sekitar, tetapi yang gelap-gelap itulah yang lebih menserasikan diri dengan teks.
Biasanya, positivistic lebih menekankan pembahasan singkat dan menolak pem-bahasan yang penuh deskripsi cerita, atau ta’wil, dalam istilah Ibn Taymia. Karena itu, jika ushuliyun akan menggunakan positivistic, otomatis harus membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi mazhab yang meng-amalkan ushul-fiqh itu. Ushuliyun lebih banyak berfikir induktif agar menghasilkan sebuah verifikatif sebuah bentuk ushul-fiqh yang ingin dibangun.
Ciri-ciri positivistic dapat dilihat dari tiga pilar keilmuan, yaitu (a) aspek ontolo-gis, positivistic menghendaki bahwa perilaku manusia (af’al al-mukallafin) dapat di-pelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari subjek lain, dan dapat dikontrol. (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap peng-amalan fiqh dalam masyarakat. (c) secara aksiologis, menghendaki agar pengem-bangan ushul-fiqh bebas nilai. Artinya, ushuliyun dalam menyusun ushul-fiqhnya mengejar objektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat.
Positivistik berbeda dengan naturalistic yang cenderung mengungkapkan peng-amalan fiqh di suatu tempat. Paham ini dipengaruhi oleh teknik berfikir induktif un-tuk mermperoleh ushul-fiqh yang diambil dari pengamalan fiqh di daerah itu. Demikian ini difahami melalui analisis yang netral atau lingkungan alamiah dalam mazhabnya. Dengan kata lain, ushul-fiqh yang dipelajari dengan pendekatan naturalistrik adalah ushul-fiqh yang berangkat dari realita komunitas mazhab fiqh yang diamalkan oleh masyarakat itu.
Posisi ushuliyun yang mempelajari fiqh dengan pendekatan ini seperti orang asing yang belum tahu gambaran ushul-fiqh yang bisa dirumuskan dari daerah itu. Oleh karena itu, di samping dia mempelajari dan mengamati masyarakat, dia juga mengadakan pemetaan lokasi dan merekam apa yang terjadi pada mazhab itu. Ada sebagian ilmuan yang mengatakan bahwa ushuliyun yang mempelajari norma-norma ushul-fiqh di suatu daerah dengan pendekatan ini sama seperti mengguanakan metoda fenomenologi.
Selain menggunakan instrumen perilaku umat (af’al al-mukallafin), pendekatan naturalistic juga memiliki cirri, antara lain (a) realitas umat dapat dipisahkan dari konteksnya, dan tidak selamanya mereka berada dalam konteks itu. (b) penggunaan pengetahuan yang tersembunyi seperti intuisi, itu bisa dibenarkan, karena interaksi manusia pun sering demikian. (c) rancangan ushul-fiqh yang dinegosiasikan adalah penting karena konstruksi mazhab itu akan dikonstruksi oleh ushuliyun yang sedang mencari ushul-fiqh itu. (d) rumusan ushul-fiqh bersifat ideografis atau berlaku khusus bukan bersifat nomotetis atau mencari generalisasi. Karena interpretasi yang berbeda akan lebih bermanfaat bagi realitas yang berbeda pula, karena perbedaan konteksnya. (e) gambaran ushul-fiqh bersifat tentatis, dan belum tentu bisa digeneralisasikan.
Dari cirri-ciri tersebut dapat dinyatakan bahwa penulisan ushul-fiqh dengan pen-dekatan naturalistic adalah lebih membumi. Ushul-fiqh model ini akan mampu memecahkan perilaku umat yang dipelajari, dan bisa membantu keinginan tokoh-tokoh yang menyajikan Mazhab Jogja, atau Fiqh Indonesia, dan sebagainya.                                   

4. Pendekatan Fenomenologis
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa positivisme memerlukan penyusu-nan teori. Sedangkan fenomenologi justru tidak menunggu-nunggu teori bahkan alergi dengan teori. Pendekatan ini lebih menekankan rasionalisme dan realitas peng-amalan fiqh di tengah masyarakat. Hal ini sejalan dengan penelitian etnografis yang menitik beratkan pada pilihan dan pandangan pegangan mazhab setempat. Realitas adalah lebih penting dan dominan dibanding teori dan rerata.
Fenomenologi berusaha memahami pengamalan mazhab liwat pandangan dan perilaku pengamal mazhab itu. Menurut faham fenomenologi, ilmu bukanlah bebas nilai dari apa pun, tetapi memiliki hubungan dengan nilai. Aksioma fenomenologis adalah (a) kenyataan ada dalam diri manusia, baik selaku individu atau kelompok, selalu bersifat majmuk atau ganda yang tersusun secara kompleks. Oleh karena itu pengamalan mazhab Syafi’iy atau mazhab Hanafi atau lainnya yang tersebar di bebe-rapa kawasan, hanya bisa dipelajari secara holistic dan tidak terlepas-lepas. (b) hubungan antara ushuliyun dengan pengikut mazhab di daerah itu saling mempenga-ruhi, mungkin karena diskusi atau saling memberikan komentar.(c) lebih mengarah kepada kasus-kasus fiqhiyah bukan untuk menggeneralisasi karangan atau materi untuk ushul-fiqhnya. (d) ushuliyun akan kesulitan dalam membedakan sebab dan akibat, karena situasi berlangsung secara simultan, (e) inkuiri terkait nilai, bukan bebas nilai, sebagaimana disebutkan di atas.
Fenomenologi merupakan istilah generic yang merujuk kepada semua pandangan ilmu social yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan social. Dalam pandangan ushul-fiqh, pandangan subjektif dari pengikut mazhab yang dikembangkan ushul-fiqhnya, sangat diperlukan. Subjektivitas akan menjadi shahih apabila ada proses intersubjektivitas antara ushuliyun dengan pengikut mazhab yang dipelajari ushul-fiqhnya itu.
Dalam pengembangan ushul-fiqh, pendekatan fenomenologi tidak dipengaruhi secara langsung oleh filsafat fenomenologi, tetapi oleh perkembangan dalam pende-finisian konsep fiqh atau ushul-fiqhnya, termasuk pendefinisian tafsir al-Qur’an atau ilmu budaya lainnya. Dalam fenomenologi, objek ilmu tidak terbatas pada yang empirik (sensual), melainkan mencakup juga fenomena berikutnya yang terdiri dari persepsi, pemikiran, kemauan, dan keyakinan si subjek yang menuntut pendekatan holistic, menundukkan objek pengembangan ushul-fiqh dalam suatu konstruksi ganda melihat objeknya dalam satu konteks netral, dan bukan parsial. Karena itu dalam fenomenologi lebih menggunakan tata pikir logic dari pada sekedar linier kausal. Tujuan pengembangan ushul-fiqh dengan pendekatan fenomenologi adalah untuk membangun ilmu-ilmu agama, termasuk ushul-fiqh itu sendiri.
Metoda kwalitatif fenomenologi, berdasarkan pada empat kebenaran, yaitu kebe-naran empirik sensual, kebenaran empirik logic, kebenaran empirik etik, dan kebenar-an empirik transenden. Atas dasar cara pencapaian kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara ushuliyun dengan masyarakat pengamal mazhab. Keterlibatan ushuliyun dengan umat yang dikembangkan ushul-fiqhnya itu menjadi salah satu cirri utama.
Pendekatan fenomenologi berusaha memahami arti pengamalan fiqh dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Ilmuan fenomenologi tidak berasumsi bahwa mereka mengetahui makna tindakan bagi orang-orang yang sedang dipejalari. Oleh karena itu inkuiri dimulai dengan diam. Diam merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang dipelajari. Yang ditekankan adalah aspek subjek (pengamal fiqh) dari perilakunya. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subjek yang dipelajari sedemikian rupa, sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari-hari.
Mulanya ilmuan tahu dari pengakuan masyarakatnya, bahwa mereka pengamal fiqh Syafi’iy, dari segi ibadah, mu’amalah, mawarits, munakahat, dan sebagainya. Tetapi ilmuan tahu juga bahwa mazhab al-Syafi’iy didukung oleh banyak komentator (ash-hab) terhadap ushul-fiqhnya, sehingga terjadi antara satu konsep dengan konsep lainnya berbeda. Maka ilmuan fenomenologi ingin mengetahui praktek pengamalan fiqh, dikaitkan dengan pola kehidupan bermazhabnya.
Penekanan ilmuan fenomenologi adalah pada aspek subjektif dari pengamal fiqh. Ushuliyun berusaha masuk ke dalam dunia subjek yang dipelajarinya, sehingga ushuliyun mengerti apa dan bagaimana satu konsep yang dikembangkan. Pengamal fiqh dipercayai memiliki kemampuan untuk menfsirkan pengamalannya melalui interaksi. Ushuliyun fenomenologis tidak menggarap data secara mentah. Dia cukup pandai dengan cara memberikan “tekanan” pada pengamal fiqh untuk memberikan makna pada tindakan fiqihnya, tanpa mengabaikan realitas.
Demikian dapat difahami, karena istilah fenomenologi itu berkaitan dengan suatu persepsi, yaitu kesadaran. Fenomenologi akan berupaya menggambarkan fenomena kesadaran dan bagaimana fenomena itu tersusun. Dengan adanya kesadaran ini, tidak mengherankan jika ushuliyun dan pengamal fiqh memiliki kesadaran tertentu terhdap pengamalannya masing-masing. Pengamalan yang dipengaruhi oleh kesadaran itu, pada saatnya akan memunculkan permasalahan baru dan di antaranya akan terkait dengan pola-pola pengamalan fiqh itu tadi.
Perkembangan kesadaran yang diketahui oleh ushuliyun yang menggunakan fenomenologi akan dihadapkan pada sejumlah permasalahan fiqh dan ushul-fiqhnya. Paling tidak ada tiga permasalahan pokok, yaitu (a) Ketidak samaan data yang dihimpun oleh ushuliyun, karena perbedaan minat di kalangan mereka terhadap perilaku suatu mazhab di daerah yang sama (b) Masalah sifat data itu sendiri. Artinya seberapa jauh data tersebut dapat diperbandingkan, atau seberapa jauh data tersebut benar-benar dapat melukiskan gejala yang sama dari pengamal mazhab yang berbeda (c) Menyangkut masalah klasifikasi data yang di antara ushuliyun masih berbeda kriterianya.
Melihat tiga hal tadi, studi fenomenologi bisa dibantu dengan pendekatan etno-sains sebagai salah satu alternatif. Pendekatan ini dipandang lebih fenomenologis karena dengan menerapkan model linguistik yang dikenal dengan pelukisan secara etik dan emik, pemaknaan ushul fiqh menjadi lebih lengkap. Dengan cara ini pende-finisian ushul-fiqh merupakan akumulasi dari system ide, dalam istilah “makna” yang diberikan oleh pendukung mazhab pun turut diperhitungkan.
Pendekatan fenomenologi, ada yang mengkritik lagi dan diarahkan pada penglo-laan secara etnografis. Pendekatan ini mengkritik pandangan empirisisme radikal, naturalisme, dan fenomenologi murni. Kalau pendekatan ini diterapkan pada ushul-fiqh, maka (a) Persyaratan ‘illat (alasan hokum) menurut Hanafiyah harus berjangka luas, hingga memungkinkan untuk dijadikan dasar qiyas. Menurut Syafi’iyah ‘illat jangkauannya terbatas, karena hukum itu mengikuti ‘illat. Sedangkan menurut teori etnografis, bahwa ‘illat yang dirasakan oleh pengikut Mazhab Syafi’iy misalnya, belum tentu sejalan dengan konsep ‘illat yang dirumuskan oleh Ushulyun Syafi’iy yang menyusun ushul-fiqhnya. (b) Mengembangkan ushul-fiqh fenomenologis yang memperhatikan ‘dunia moral lokal’ terhadap masalah ekologi yang mengkaji situasi dan lingkungan. Situasi dan lingkungan adalah bagian dari hidup manusia (af’al al-mukallafin) yang akan membentuk dan dibentuk oleh lingkungan setempat dan atau oleh budaya keagamaan setempat. (c) Arahan baru ushul-fiqh diarahkan pada fisik, karena subjektivitas adalah kehidupan fisik di dunia, bahkan sikap simpati dan empati merupakan sifat dasar kehidupan fisik pula. Karena itu, pemahaman fenomenologi perlu mendasarkan fisik ini. Karena fisik merupakan aspek primordial dari sebjek-tivitas manusia sebagai makhluk social. (d) Ushul-fiqh yang diarahkan pada histeo-grafi, yaitu memandang fenomena dalam kaitannya pada kehidupan dan sejarah.
Demikian pengembangan ushul-fiqh, sebenarnya masih bisa dicapai lagi dengan pendekatan yang lain, seperti pendekatan praktek, dan pendekatan emansipatoris. Meskipun begitu, pendekatan-pendekatan yang sudah disajikan di atas, sudah mencukupi untuk mengembangkan ushul-fiqh kita. Wallahu a’lam.


                                                                                                    
       



Daftar Bacaan :
Asymawi, Muhammad Sa’id al., Al-Islam al-Siyasiy, Kairo, 1992, Sina Li al-Nasyr.
Aziziy, A. Qadri, Pengembanagn Ilmu-ilmu Keislaman, Jakarta, 2003, Dipertais,
          Ditjen, Bagais, Depag RI.
Bisri, Cik Hasan, Model Penelitian Fiqh, Jilid I, Jakarta, Edisi Pertama,2003, Prenada 
           Media.
Buwaithiy, Muhammad Said Ramadlan, Dlawabith al-Mashlahah Fi al-Syafiat al-
          Islamiyah, Beirut, Cet. Ke 5, 1990 M., 1410 H., Muassasah al-Risalah.
Dikki al-Bab, Ja’far, Metoda Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, dalam Al-Kitab
         Wa al-Qur’an,karya Muhammad Syahrur, Terjemah Sahiron, Yogyakarta, 2004
          ELSAQ Press.
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta, 2003 Gajah
          Mada Press.
Hasan Hanafi, Dirasah Islamiyah (Islamologi I) Diterjemahkan oleh Miftah Faqih,
          Yogyakarta, 2003, LKiS,  
Ibn Taymia, Al-Radd ‘ala al-Manthiqiyyin, Beirut tt. Dar al-Fikr.
Ibrahim Abu Sulaiman, Abdulwahhab, Al-Fikr al-Ushuliy, Cet. Ke I, Jeddah, 1993,
          1403 H., Dar al-Syuruq.
Mahfuzh, Anas Saidi, Metodologi Penelitian, Hanya Untuk Kalangan Sendiri, tt.
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kwalitatif, Bandung, Cet. Ke 20, 2006,
          Remaja Rosdakarya.
Musa, Muhammad Yusuf, Nizham al-Hukm fi al-Islam, Kairo, 1963, Dar al-Kitab al-
          Arabiyah.
Raziy, Abu Abdillah Muhammad ibn Umar ibn Husain al., Al-Mahshul fi Ilm al-Usul
          Beirut tt. Dar al-Kutub al-Arabiyah.
Sa’di, al-Iraqi, Abdulhakim abdurrahman, al., Mabahits al-Illat fi al-Qiyas ‘ind al-U-
          Shuliyyin, Beirut, Pect. Ke I, 1982 M-1406 H., Dar al-Basyair al-Islaiyah.
Sarkhasi, Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Sahal, al., Al-Muharrar fi Ushul al-Fiqh,
          Beirut, tt. Dar al-Kutub al-Arabiyah.
Syalabi, Muhammad Musthafa, Ta’lil al-Ahkam, Beirut, 1981 M-1401 H., Dar al-
          Nahdlah al-Arabiyah.
Suryasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, 1984,
          Penerbit Sinar Harapan.    

Rabu, 16 November 2011

PEMBAGIAN HADIST

PEMBAGIAN HADIST
PEMBAGIAN HADIS NABI DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI
I. Pembagian Hadis Dilihat dari Bentuknya.
A. Hadis Qauli
Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa dan  keadaan yang berkaitan aqidah, syari’ah, akhlak dan  lainnya.
B. Hadis Fi’li
Yang dimaksud dengan hadis fi’li adalah hadis yang menyebutkan perbuatan nabi Muhammad SAW yang sampai kepada kita. Hadis yang termasuk kategori ini adalah hadis yang di dalamnya terdapat kata-kata kana/yakunu atau ra’aitu/ ra’aina
C. Hadis taqriri
Hadis taqriri adalah  hadis yang menyebutkan ketetapan nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi SAW membiarkan suatu perbuatanyang dilakukan oleh para sahabt apabila memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
D. Hadis Hammi
Yang dimaksud dengan hadis hammi adalah hadis yang menyebutkan keinginan Nabi Muhammad  SAW yang belum terealisasikan. Keinginan nabi untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura’. Nabi belum sempat ,menunaikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyura’ tahun berikutnya. Menurut para ulama’ menjalankan had hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah lainnya.
E. Hadis Ahwali
Yang dimaksud dengan hadis ahwali ialah hadis yang menyebut hal ihwal Nabi Muhammad SAW, yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya.
Keadaan fisik Nabi Muhammad SAW tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Sebagimana dikatakan Al-Bara’i dalam sebuah hadis berikut:
II. Pembagian Hadis ditinjau dari kuantitas Rawi
A). Hadits Mutawatir
Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Menurut Mohammad Rahman dalam buku Ilmu Musthalahah Al hadis disebutkan bahwa syarat-syarat hadis mutawattir ada 3:
(1.) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
(2). Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
(3.) Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1.    Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya: “Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
II.3.2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya: “Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: “
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Pembagian hadis Ahad
1. Hadis Masyhur
Masyhur menurut Bahasa adalah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan populer). Menurut istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah- tidak mencapai derajat mutawatir.
2. Hadis Aziz
Aziz menurut bahasa adalah As-Syafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qowiyu (yang kuat). Menurut istilah, hadis aziz ialah hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad.
3. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa adalah (1) ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah) dan (2) kalimat yang sukar dipahami. Sedangkan secara terminologi, hadis gharib ialah hadis yang diriwayatkan oleh seoran perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya.
c. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh. [23]
II.4. Pembagian hadis berdasarkan kualitas sanad dan matan
II.4.1. Hadis Shahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
II.4.2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”
II. 4.3. Hadis Dhoif
Hadis dhoif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
Artinya :
“Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.”
Jadi hadis dhaif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis dhaif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
II.5. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan Sifat Sanad dan Cara Penyampaian Periwayatan
II.5.1. Hadis Ali
Hadis Ali adalah hadis yang jumlah rawinya dalam sanad itu sedikit, dibandingkan jumlah rawi yang ada pada sanad lain yang menyebut hadis yang sama.
Macam-macam hadis ‘Aly ada 5 macam;
1.    ‘aly Mutlaq
2.    Aly Nisbi
3.    ‘Aly Tinzil
4.    ‘Aly bitaqdimil wafat
5.    ‘Aly bitaqoddumis sanad
II.5.2. Hadis Nazil
Hadis Nazil adalah hadis yang jumlah rawi dan sanadnya banyak. Pembagian hadis nazil ada lima. Untuk mengetahuinya, cukup memahami kebalikan pembagian hadis ‘Aly. Aly Mutlaq melawan Nazil mutlaq.
Contoh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan Imam Al-Bukhari dengan sanad berbeda. Berikut perbandingannya;
Sanad muslim adalah Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairoh (6 orang) adalah hadis nazil. Sedangkan riwayat Bukhari bersanad Quthaibah bin Sa’id, Abul Akhwash, Abu Hasin, Abu Shalih, dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadis ‘Aly karena sanadnya lebih sedikit.
II.5.3. Hadis Muannan
Muannan menurut bahasa berarti bahwasanya, sesungguhnya. Muannan menurut istilah adalah hadis yang dikatakan dalam sanadnya “memberitakan pada kami bahwasanya si fulan, memberitakan padanya ,begini”
Hukum hadis muannan
Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat bahwa hadis muannan berhukum munqati’ sehingga ada penjelasan bahwa ia mendengar berita tersebut melalui sanad lain atau ada indikator lain yang menunjukkan bahwa ia mendengar atau menyaksikannya. Menurut mayoritas ulama’ bahwa hadis muannan di hukumi muttasil sama dengan muan’andi atas asal memenuhi dua syarat
Abu Al-Asyabal menegaskan, bahwa hadis muan’an jika seorang perowi yang menggunakan kata anna = bahwasanya ( muannin ) tidak semasa dengan orang yang menyampaikannya atau semasa tetapi tidak pernah bertemumaka periwayatannya di hukum munqathi’ tidak dapat di terima oleh hujjah atau seorang rowi yang menggunakan anna= bahwasanya ( muannin ) semasa hidupnya dengan yang menyampaikan berita tetapi tidak di ketahui apakah ia bertemu atau tidak, atau di ketahui tetapi ia sesorang penyembunyi cacat (mudallis), maka di tangguhkan  ( tawaqquf ) hingga dapat di ketahui ke muttasilannya
II.5.5. Hadis Musalsal
Menurut bahasa musalsal berasal dari kata salsala yusalsilu salsalatun, yang berarti dan bertali menali, di namakan hadis musalsal karena ada persamaan dengan rantai atau silsilah
Menurut istilah : keikutsertaan para perawi dalam sanad secara berturut turut pada satu sifat atau satu keadaan, terkadang bagi periwayatan.
Dengan demikian hadis musalsal adalah hadis yang secara berturut turut,  sanadnya sama dalam satu sifat atau dalam satu keadaan dan atau satu periwayatan
Macam macam musalsal
1). musalsal keadaan rawi ( musalsal bi ahwal arruwat )
msalsal keadaan perawi terkadang dalam perkataan ( qauli ) terkadang perbuatan  ( fi’li ) atau keduanya ( qauli & fi’li )
2). musalsal sifat periwayat ( musalsal bi shifat ar ruwah )
muasalsal ini di bagi menjadi perkataan ( qauli ) dan perbuatan  ( fi’li )
3). musalsal dalam sifat periwayatan 9 musalsal bi shifat ar riwayah )
muasalsal ini di bagi menjadi tiga macam :

1)      musalsal dalam bentuk ungkapan, penyampaian, periwayatan ( ada’)
2)      musalsal pada waktu periwayatan
3)      musalsal pada tempat periwayatan

Hukum hadis musalsal
Terkadang hadis terjadi musalsal dari awal sampai akhir. Dan terkadang sebagian musalsal terputus di permulaan atau di akhiran. Hukum musalsal ada kalanya shahih, hasan dan dhaif tergantung keadaan para perawinya. Sebagaimana tinjauan pembagian hadis di atas, bahwa musalsal adalah sifat sebagian sanat, maka tidak menujukkan keshahihan suatu hadis.
Diantara kelebihan musalsal tersebut adalah menunjukkan kemutasilan dalam mendengar, tidak adanya tadlis dan inqitha’, dan nilai tambah kedhabithan para perawi. Hal ini dibuktikan dengan perhatian masing-masing perawi dalam pengulangan menyebut keadaan atau sifat para perawi para periwayatan.
II.6. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan sumber berita
II.6.2. Hadis Marfu’
Marfu’ secara etimologi berarti “yang diangkat” atau “ditinggikan”. Secara epistimologis, hadis marfu’ berarti hadis yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, persetujuan, atau sifat, baik sanadnya bersambung maupun tidak.
Sebagian ulama kemudian membagi hadis ini berdasarkan jenisnya, jika hadis itu berupa ucapan dinamakan marfu’ qouli, jika perbuatan dinamakan marfu’ fi’li, jika persetujuan disebut marfu’ taqriri dan jika sifat maka dinamakan marfu’ washfi.
Jumhur Muhaditsin mambagi hadis marfu’ berdasarkan aspek pengkategorian teks, marfu’ tashrihy dan marfu’ hukmy.
Marfu’ tasyrihi adalah hadis yang tegas-tegas dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis tersebut didengar, atau dilihat dan atau disetujui Rasulullah. Misalnya perkataan seorang sahabat dengan kata :
Aku mendengar rasulullah SAW bersabda
Diceritakan kepadaku oleh Rasulullah
Berkatalah Rasulullah
Rasulullah menceritakan
Aku melihat rasulullah begini
Adalah rasulullah berbuat begini
Aku berbuat dihadapan Rasulllah begini
Sedangkan marfu’ hukmy adalah ucapan sahabat yang seolah-olah lahirnya dikatakan oleh seorang sahabat tetapi hakikatnya disandarkan kepada Rasulullah. Dengan kata lain bahwa apa yang dikatakan sahabat dapat dipastikan berasal dari nabi dan bukan dari hasil olah pikiran sahabat.
Syarat hadis dikatakan marfu’ tashrihy adalah sebagi berikut,
Pertama, yang diucapkan sahabat tersebut menyangkut masalah yang tidak dapat diijtihadkan. Misalnya tatkala sahabatberbicara masalah ghaib (ghaibiyat) atau tentang tanda-tanda kiamat.
Seperti perkataan ibnu mas’ud,
Barang siapa mendatangi tentang tukang sihir, atau tentang dukun, maka sesunggunhnya ia telah kafir, kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.
Kedua, Apabila ada seorang sahabat berkata:
Diantara sunnah begini.
Perkataan ini sudah dipandang sebagai hadist marfu’ karena makna sunnah disini adalah sunnah Rasullah. Contohnya perkataan Anas bin Malik
Diantara sunnah apabila seorang laki-laki beristri dengan seorang gadis (bikr) sedang ia mempunyai seorang istri lain, ia berdiam diri di rumah si gadis itu 7 hari lamanya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga, apabila seorang sahabat membuat suatu pekerjaan yang tidak dapat diperoleh dengan jalan ijtihad, maka perbuatan itu dipandang sebagi hadist marfu’, karena dipersepsikan bahwa para sahabat tidak melakukan suatu perbuatan tanpa ada tuntunan dari Nabi pada tuntuna yang tidak mungkin diperoleh selain dari nabi.
Umpamanya mengangkat kedua tangan ketika takbir dalam beberapa takbir shalat hari raya baik dalam rakaat pertama maupun rakaat kedua. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ibnu Umar. Tentunya tibeliau tidak akan mengerjakan hal tersebut kalau tidak mendapat tuntunsan dari Nabi. Dan diketahui bahwa ibnu Umar adalah seorang sahabat yang sangat kuat dalam menjalankan sunnah Nabi.
Keempat, jika sahabat bercerita tentang kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu, selama sahabat tersebut tidak dikenal orang yang suka duduk dengan ahli kitab maka ceritanya dapat dikategorikan marfu’, karena tidak dikhawatirkan cerita tersebut mereka dengar dari ahli kitab yang bersumber dari taurat dan injil.
Kelima, jika sahabat mengatakan bahwa “kami diperintahkan untuk atau kami  dilarang”, maka dapat dipahami bahwa yang memerintah atu melarang tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.
Keenam, jika yang diucapkan dinisbatkan pada zaman Nabi SAW. Misalnya mereka mengucapkan kami melakukan ini dan itu. Ungkapan ini dapat dihukumi sebagi marfu’ sekalipun sahabat tidak menghukumi qola  nabi, karena dipersepsikan bahwa nabi melihat pekerjaan itu terjadi tetapi tidak mencegah atau melarang. Proses ini disebut persetujuan (taqrir nabi).
Hadis marfu’ –baik tashrihi maupun hukmi- dapat dijadikan sebagi hujjah, selama hadis tersebut memenuhi kriteria hadis maqbul (shahih atau hasan).
II.6.3. Hadis Mauquf
Secara etimologi, mauquf berasal dari kata waqaf yang atinya berhenti. Mawquf berarti berhenti atau menghentikan. Secara epistimologi, definisi hadis mauquf adalah ucapan aau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks yang penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf baik tersambung sanadnya atau tidak.
Ibnu Al-Atsir dalam kitab Al-Jami’ mendefinisikan hadist mauquf sebagai
Hadis yang dihentikan (sandarannya) pada seorang sahabat tidak tersembunyi bagi seorang ahli hadis, yaitu suatu hadis yang disandarkan kepada seorang sahabat. Apabila telah sampai pada seorang sahabat, ia (seorang perawi) berkata : bahwasanya sahabat berkata begini, atau berbuat begini atau menyuruh begini.
Contoh hadis mauquf misalnya,
Ali bin Abi thalib berkata: Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Apakah mereka menghendaki Allah dan Rasul-Nya didustakan? (HR. Bukhari)
Dan Ummu ibnu Abbas sedangkan ia bertayammum (HR. Al-Bukhari)
Aku melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan ia tidak mengingkariku.
II.6.4. Hadis Maqthu’
Secara etimologi, maqtu’  berasal dari kata qotho’a yang berarti terputus.  Secara istilah ucapan atau  perbuatan  yang dinisbatkan kepada tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi’in maka diistilahkan dengan maqthu’ baik bersambung sanadnya maupun tidak.
Lebih luas hadis maqthu’ didiefinisikan sebagai berikut :
Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau seorang setelahnya dari tabi’ tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka baik berupa perkataan atau perbuatan dam sesamanya.[47]
Contoh hadis maqthu’
Perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah
Shalatlah dan bid’ahnya atasnya. (HR. Bukhari)
Para ulama’ berpendapat bahwa hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali bagi golongan yang membolehkan berhujjah dengan hadis mursal, maka maqthu’ yang marfu’ dijadikan hujjah.
II.7. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan ketersambungan sanad
II.7.1. Hadis Muttashil
Dari segi bahasa Muttashil berarti yang bersambung, berasal dari kata ittashola yattashilu. Secara epistimologi hadis muttasil ialah hadis yang bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu’ disandarkan kepada nabi maupun mauquf (disandarkan kepada seorang sahabat)
Dalam definisi di atas ungkapan hingga akhir sanad menunjukkan bahwa hadis muttashil bisa marfu’ bisa mauquf bahkan juga bisa maqthu’. Jika sanadnya berakhir pada nabi maka disebut marfu’, jika berakhir pada sahabat maka dinamakan mauquf dan jika berakhir pada tabi’in maka disebut maqthu’.
Contoh hadis muttashil yang marfu’
Artinya : orang yang terlambat melaksanakan sholat sepeeti orang yang kehilangan keluarga dan kerabatnya[52] (HR Imam Nasa’i)
II.7.2. Hadis Musnad
Dari segi bahasa musnad berasal dari kata asnad, dengan makna menyandarkan atau menggabungkan. Dari segi istilah hadis musnad ialah  hadis yang di riwayatkan dengan sanad yang bersambung, dengan kata lain hadist yang bersambung dan marfu’ dan di katakan tidak musnad jika tidak marfu’, inilah yang membedakan musnad dan muttasil, semua musnad pasti muttasil, namun tidak setiap muttasil itu musnad
contoh : hasil periwayatan bukhori misalnya dia berkata : memberitakan pada kami abdullah bin yusuf dari malik dari abu azzanad dari al a’araj dari abu hurairah berkata: sesungguhnya rasulullah bersabda :
Yang artinya : jika anjing minum bejana kamu maka cucilah tujuh kali[55]
II.8. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan keterputusan sanad
II.8.1. Hadis Mursal
Terdapat beberapa perbedaan dalam pendefinisian mursal. Adapun definisi mursal menurut jumhur muhadditsin adalah hadis yang gugur perowinya pada tingkatan shahabat. Pada proses periwayatannya tabi’in tidak berjumpa dengan nabi. Hadis yang didengar oleh tabi’in dapat dipastikan bersumber dari sahabat sedang pada sanad itu sahabat tidak tampak.
Hukum hadis mursal
1.    Hadis mursal tidak dapat dijadikan hujjah karena yang gugur bisa jadi tiak sebatas sahabat tapi ada kemungkinan dua orang.
2.    Dapat dijadikan sebagai hujjah asalkan diriwayatkan dari tabi’in senior
3.    Dapat dijadikan hujjah dengan syarat tabi’in yang meriwayatkan hadis tersebut dikenal sebagai orang yang tsiqah.
II.8.2. Hadis Mu’allaq
Hadis muallaq yaitu hadis yang terputus di awal sanadnya dari jajaran perowi. Baik terputusnya lebih dari satu tempat atau gugur lebih dari satu perowi asalkan terputusnya terdapat diawali sanad masih dapat dikatakan muallaq. Hadis muallaq masuk kategori hadis dhoif karena hilangnya syarat pertama dari syurut Al-qabul (ittishal al-sanad) dan sosok perawi yang gugur ststus kepribadiannya tidak diketahui.
Hadis-hadis muallaq yang terdapat dalam shahihin masuk ketegori shahih, karena hadis-hadis tersebut sebagian besar ternyata berstatus muttashil dalam riwayat lain dalam kitab tersebut. Adapun hadis-hadis muallaq yang tidak terdapat keterangannya atau tidak terulang dalam kitab tersebut ternyata juga berstatus bersambung. Hal itu telah dibuktikan oleh ibn Hajar yang telah meneliti satu persatu hadis-hadis muallaq dalam shahih bukhari dan hasilnya, beliau mendapatkan bahwa hadis-hadis muallaq dalam shahih Bukhari ternyata berstatus muttashil dalam riwayat lain di luar kitab shahih Bukhari.
II.8.3. Hadis Mu’dhal
Istilah ini berasal dari kata a’dhola yang berarti memayahkan. Diistilahkan demikian karena peneliti yang akan mencari perowi yang gugur akan merasa kepayahan. Adapun secara terminologi, mu’dhol berarti hadis yang terputus sanadnya pada dua tempat secara berurutan, bisa mulai dari awal sanad, tengah atau akhir. Hukum hadis mu’dhol dhaif, karena tidak memenuhi kriteria hadis maqbul.
II.8.4. Hadis Munqathi’
Kata Al-Inqita’ (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita’ merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita’ adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati’ yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
Artinya:
“Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus) persambungannya.”
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, “Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya”. Dengan demikian, hadis munqati’ merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya: “Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”
Definisi ini menjadikan hadis munqati’ berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan “Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal; dengan kata-kata, “Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata “Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.
II.8.5. Hadis Mudallas
Dalam bahasa arab, kata at –tadlis diartikan menyimpan atau menyambunyikan cacat. Seadangkan istilah, menyembuyikan cacat dalam isnad dan menyampaikan cara periwayatan yang baik
Maksud menampakkan cara periwayatan yang baik adalah mengunakan ungkapan periwayatan yang tidak tegas bahwa ia mendenagr dari penyampaian berita.hadis ini hamper sama dengan mursal khafi.
Pembagian hadis mudallas
Hadis mudallas dibagi menjadi dua macam
1)      tadlis al isnad : seorang perawi meriwayatkan hadis yang ia tidak mendengarnya dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya
2)      tadlis asy syuyukh’ : seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadis yang ia dengar darinya kemudian ia beri nama lain atau nama panggilan ( kuniyah ) atau nama bangsa dan atau nama sifat yag tidak di kenal supaya tidak di kenal
Hukum periwayatan tadlis
Perawi yang tidak di kanal sebagai mudallis ada beberapa pendapat tentang hukum periwayatannya apakah diterima atau tidak, yaitu sebagai berikut
1)      di tolak secara mutlak baik di jelaskan dengan tegas ( as-sama) atau tidak, yaitu pendapat sebagian malikiyah bahkan menurut sebagian mereka walauun di ketahui sekali melakukan tadlis tetap di tolak
2)      diterima segara mutlak, pendapat al khatib dalm al kifayah dari para ahli ilmu. Alasan pendapat ini, tadlis di pesamakan dgan al irsal
3)      diterima jika ia tidak di ketahui melakukan tadlis kecuali dari orang tsiqah
4)      diterima jika tadlisnya langka atau sedikit saja
5)      diterima periwayatannya, jika ia tsiqah dan mempertegas periwayatannya dengan as sama
II.9. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan kecacatan para periwayat
II.9.1. Hadis Mawdhu’
Hadis maudhu’ sebenarnya adalah ungkapan seseorang yang disandarkan kepada nabi secara dusta Hadis maudhu’ merupakan hadis terburuk kualitasnya. Karena ia merupakan hadis palsu yang sama sekali tidak dikatakan oleh nabi. Disisi lain hadis jenis ini akan berdampak fatal pada agama. Larangan periwayatan hadis maudhu’ berdasar pada hadis nabi yang berisi kecaman bagi pemalsu hadis;
“ barang siapa meriwayatkan hadis dariku dan dia tahu bahwa yang diriwayatkan itu adalah hadis palsu maka dia termasuk dari pemalsu”[62]
II.9.2. Hadis Matruk
Hadis matruk merupakan bagian dari hadis dha’if yang cacat keadilan. Dalam istilah hadis matruk adalah hadis yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
II.9.3. Hadis Munkar
Hadis yang pada sanatnya ada seorang perawi yang banyak kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak kefasikan.
Ada yang mengatakan hadis yang diriwayatkan seorang dhaif menyalahi periwayatan yang tsiqqah. Dari definisi diatas sudah jelas bahwa diantara periwayat hadis munkar ada yang sangat lemah daya ingatannya sehingga periwayatannya menyendiri tidak sama dengan periwayatan yang tsiqqah. Perwayatan munkar tidak sama dengan syad karena dalam munkar periwayatannya bersifat dhaif yang menyalahi periwayatan tsiqqah. Sedangkan hadis syad periwayatan orang tsiqqah menyalahi orang yang lebih tsiqqah. Contoh: hadis yang di riwayatkan ibnu majjah melalui usama bin ziad alma dani dari ibu shihab dari abu salamah bin abdur rahman bin auf dari ayahnya secara marfu’:
“ seorang yang puasa bulan ramadhan dalam perjalanan seperti seorang yang berbuka dalam tempat tinggalnya”
Hadis diatas munkar karena periwayatannya usama bin zaid almadani secara marfu’ (dari Rasulullah) bertentangan periwayatan ibnu Abi dzi’bin yang tsiqqah, menurutnya hadis diatas mauquf pada abdur rahman bin auf. Tingkatan kedhaifannya sangat dhaif setelah matruk.
II.9.4. Hadis mu’allal
Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pad ahadis kemudian membuat cacat dalam keabsahannya padahal lahirnya selamat daripadanya. Hadis mualal adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat illah ynag membuat cacat keshahihan hadis, padahal lahirnya elamat dari padanya. Dari definisi diastas, dapat difahami bahwa kriteria illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadis. Illah bis aterjadi pada sanad dan natan.
Contoh hadis mu’alal adalah :
“ hadis yang diriwayatkan oleh tirmidzi dan abu daud dari kutaibah bin said memberitakan kepada kami abdus salam bin harb al malai dari a’masy dari annas berkata nabi ketika hendak hajat tidak mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah.”
Hadis diatas lahirnya shahih karena semua perawinya dalam sanad tsiqah, tetapi al a’masi tidak mendengar dari annas bin malik; dia melihatnya di mekkah shalat di belakang maqam ibrahim.
II.9.5. Hadis mudraj
Idraj menurut bahasa adalah memasukkan sesuatu dalam lipatan sesuatu yang lain. Menurut istilah muhaddisin, yaitu segala sesuatu yang tersebut dalam kandungan suatu hadis dan bersambung dengannya tanpa ada pemisah, padahal ia bukan bagian dari hadis itu.gampangnya adalah hadis yang disisipkan ke dalam matannya sesuatu perkataan orang lain
baik orang itu sahabat ataupun tabiin untuk menerangkan maksudmakna
Para ulama membagi idraj sesuai dengan tempatnya menjadi dua bagian. Pertama, Mudraj matan adalah ucapan sebagian rawi dari kalangan sahabat atau dari generasi setelahnya yang tercatat dalam matan hadis dan bersambung dengannya. Idraj dalam matan adakalanya terjadi di akhir matan dan ini yang terbanyak, di tengah-tengah atau di awalnya. Kebanyakan idraj dalam matan dilakukan dalam menafsirkan maksud suatu ungkapan hadis., tidak jarang merupakan hasil kesimpulan hukum yang darinya pendengar menganggap sebagai bagian dari hadis sehingga deisertakan dengannya.
Kedua Mudraj isnad. Dalam hal ini, para ulama menyebutkan beberapa bentuk yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut; 1) Seorang rawi mendengar suatu hadis dari banyak guru dengan beraneka ragam jalur sanadnya, kemudian ia meriwayatkannya dengan satu jalur sanad tanpa menjelaskan perbedaannya. 2) Seorang rawi memiliki sebagian matan, namun ia juga memiliki sebagian matan lainnya dari sanad lain, kemudian matan tersebut diriwayatkan oleh salah seorang muridnya secara sempurna dengan satu sanad. Jelasnya adalah bila ia memiliki dua hadis dengan dua sanad berbeda, lalu keduanya digabungkan dalam satu sanad. 3) Seorang muhaddis membacakan suatu sanad hadis, kemudian terjadilah sesuatu sehingga ia mengeluarkan kata-katanya sendiri, kemudian kata-katanya itu dianggap oleh sebagai orang yang mendengarnya sebagai matan, sehingga mereka meriwayatkan kata-kata tersebut dengan sanad yang dibaca muhaddis.
Idraj dalam hadis memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadis sebagai hadis, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Sehubungan dengan itu mereka menetapkan beberapa pedoman untuk mengetahui dan menyingkapnya dengan pasti.
Pedoman itu adalah sebagai berikut; 1) Adanya riwayat yang memisahkan lafad yang mudraj dari pokok hadis, hal ini sangat jelas. 2) Adanya penegasan tentang kejadian itu dari rawi yang bersangkuta, atau dari salah seorang imam yang luas wawasannya. 3) Idraj dapat diketahui dari lahiriyah susunan hadis. Seperti hadis yang menyatakan bahwa Bilal melakukan adzan di waktu malam.
Sesuatu hadis yang dapat diketahui mana kata-kata yang disisipkan ke dalamnya, dapat dipandang sahih dengan mengeluarkan kata-kata kata itu. Tetapi jika tidak lagi, maka fenomena hadis mudraj oleh para ulama digolongkan hadis daif. Karena tercampur dengan sesuatu yang bukan hadis. Disamping itu, seandainya kata-kata yang di idrajkan itu sahih atau hasan karena dimungkinkan datang melalui sanad lain yang sahih, namun hal ini tidak mengubah kedhoifannya karena dinilai sebagai sesuatu bercampur dalam sebuah hadis yang terjadi idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.
Namun, al-Suyuthi mengecualikan kesengajaan dalam idraj apabila dalam rangka menafsirkan suatu kata yang asing, maka hal ini tidak haram. Pendapat ini didukung oleh tindakan para imam hadis yang dapat dipegangi, seperti al-Zuhri. Akan tetapi yang lebih utama memastikan mana kata-kata asing yang di idrajkan itu sebagai upaya penafsiran; sementara orang yang mengetahuinya hendaklah menjelaskan.
II.9.6. Hadis maqlub
Menurut etimologi, berubahnya sesuatu dari bentuknya. Kata maqlub adalah isim maf’l dari akar kata qalaba,. Secara terminologi adalah mengganti lafad dengan lafad yang lain pada sanad atau matan hadis. Jelasnya hadis maqlub adalah sesuatu hadis yang telah terjadi kesilapan pada seeorang perawi dengan mendahulukan yang semestinya diahir, atau mengemudiankan yang semestinya lebih dulu baik berupa matan atau sanad
Nuruddin memberikan definisi hadis maqlub adalah hadis yang rawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan yang lain, baik dalam sanad atau matan, dan bila karena lupa atau sengaja. Menurutnya, definisi ini yang paling tepat. Berdasarkan definisi ini dapat membagi hadis maqlub menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang dapat mempersatukan berbagia keterangan yang beranekaragam dalam berbagai sumber pembahasan bidang ini. Yakni, maqlubnya suatu hadis bila ditinjau dari posisinya dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, maqlub sanad, yakni pergantian pada sanad. Kedua, maqlub matan yakni pergantian pada matan
Masing-masing dari keduanya adalakanya terjadi karena kelalaian rawinya atau karena kesengajaanya. Para muhaddisin menaruh perhatian besar terhadap kedua klasisfikasi hadis maqlub terahir. Karena dugaannya dapat diketahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, serta dapat dijadikan dalil dalam al-jarh wa at ta’dil. Pertama, hadis maqlub yang terjadi karena kelupaan rawinya. Seperti matan suatu hadis yang diriwayatkan dengan sanad tertentu oleh rawinya sehingga meriwayatkannya dengan menggunakan sanad lain.
Diantara contoh hadis maqlub jenis ini hadis yang diriwayatkan dari Ishaq bin Isa al-Thabab’
“Meriwayatkan hadis kepada kami Jarir bin Hazxim dari Sabit dari Anas r.a katanya, Rasululullah bersabda: Apabila sholat telah siap didirikan, maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku”
Ishaq bin Isa berkata: Kemudian saya dating kepada Hammad dan bertanya kepadanya perihal hadis ini. Ia menjawab; Abu al-Nadhar salah duga. Sesungguhnya kami berada di majelis Sabit al-Banni dan Hajjaj bin Abu Usman ada bersama kami. Hajjaj al-Shawwaf meriwayatkan hadis kepada kami dari Yahya bin Abu Bakar dari Abdullah bin Abu Qatradah dari bapaknya bahwa Rasulullah berkata “Apabila sholat telah siap didirikan, maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku”. Abu Nadhar menduga bahwa hadis tersebut termasuk hadis yang diriwayatkan kepada kami oleh Sabit dari Anas.
Jelaslah bagimana tertukarnya suatu sanad oleh rawinya, dimana dia telah menempatkan matan pada selain sanad yang sebenarnya.
Hukum hadis maqlub jenis ini adalah daif, karena hal demikian timbul akibat kacaunya hafalan rawi, sehingga ia memalingkannya dari yang sebenarnya. Apabila terjadi berulang kali, maka akan mengurangi ke-dhabitannya dan semua hadisnya akan di daifkan
Kedua, hadis maqlub yang terjadi karena kesengajaannya rawinya. Hadis maqlub jenis ini adalah yang paling bahaya, sehingga para ulama sangat besar perhatiannya untuk mengkaji dan membongkar rahasianya serta menjelaskan latar belakang dan motif para rawi yang melakukan hal itu. Diantara latar belakang dan motif tersebut adalah;
1.    Keinginan perawi untuk mengemukakan hal-hal yang aneh kepada orang lain, sehingga diduga meriwayatkan hadis yang tidak pernah diriwayatkan oleh rawi lain. Dengan itu orang-orang akan menerima dan menghafalkanya.
2.    Keinginan seorang rawi untuk menguji ahli hadis yang lain, ia hafal atau tidak dan apakah hafalannya masih baik atau sudah kacau. Di samping dimaksudkan untuk menguji kecerdasan rawi lain, apakah ia menerima indoktrinasi atau tidak. Sebab untuk mengetahui hadis maqlub dibutuhkan hafalan yang luas dan ketekunan yang tinggi guna menguasai sejumlah riwayat dan sanad.
II.9.7. Hadis mudhharib
Kata mudtarib adalah isim fail dari fiil madi idtaraba yaitu perbedaan perkara dan rusaknya aturan. Kata dasarnya daraba. Secara istilah, bermakna sesuatu yang diriwayatkan dalam bentuk yang berbeda dalam satu tema sebagai penguat. Jelasnya, hadis mudltarib adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan. Perbedaan tersebut periwayatnya atau matannya, baik dilakukan oleh seorang perawi atau oleh banyak perawi, dengan mendahulukan, mengemudiankan, menambah, mengurangi, ataupun mengganti, serta tidak dapat dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu matannya.
Singkatnya, hadis mudltarib adalah hadis yang memiliki perbedaan dari berbagai riwayatnya dengan dua catatan. Pertama, antara hadis tersebut seimbang kualitasnya sehingga tidak dapat diunggulkan salah satunya. Karena bila ada yang dapat diunggulkan, maka hukumnya pada hadis yang unggul tersebut disebut dengan mahfuz, atau ma’ruf lawan dari syadz atau munkar. Kedua, antara hadis tersebut tidak dapat dikompromikan. Karena bila perbedaannya dapat dihilangkan dengan cara benar, maka status ke-mudltaribannya hilang.
Diantara contoh hadis mudltarib adalah hadis Zaid bin Arqam dari Rasululllah. Bersabda:
“Sesungguhnya taman ini terkena bencana. Apabila salah seorang di antara kamu memasuki kakus, berdoalah: Aku berlindung kepada Allah dari Mahluk jahat laki-laki dan mahluk jahat perempuan”
Menurut Turmudzi, hadis Zaid bin Arqam sanadnya mengandung ke mudltariban. Sebab kemudltariban hadis ini adalah adanya perselisihan yang cukup banyak tentang dari siapa Qatadah menerima hadis tersebut. Said bin Abi ‘Arubah meriwayatkan bahwa Qatadah menerimanya dari Qasim bin ‘Auf al-Syaibani, dari Zaid bin Arqam. Hisyam Dastuwa’i berkata: dari Qatadah dari Zaid bin Arqam. Syu’bah meriwayatkan dari Qatadah dari al-Nadhr bin Anas dari Zid bin Arqam. Mu’amar meriwayatkannya dari Qatadah dari al-Nahar dari ayahnya dari Rasululllah.
Ditinjau dari segi hukum, maka hadis mudltarib adalah daif, karena ke-mudltariban itu mengesankan tidak adanya ke-dhabitan seorang periwayat terhadap hadis yang bersangkutan. Karena apabila suatu saat meriwayatkan hadis demikian, lalu pada kesempatan lain meriwayatkanya dalam bentuk lain, maka hal yang demikian menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak terekam kuat dalam hafalannya. Demikian pula bila terjadi pertentangan di antara beberapa riwayat, maka tidak dapat memastikan perawi mana yang paling dhabit terhadap hadis yang diriwayatkan.
II. 9. 8 Hadis Mushahhaf dan Muharraf
Perubahan kalimat dalam hadis selain apa yang dirwayatkan oleh orang tsiqah baik secara lafal atau makna. Ibnu Hajar membedkan adanya perubahan yang terjadi pada hadis, jika perubahan itu berupa titik pada suatu huruf atau beberapa huruf itulah disebut mushahhaf dan jika perubahan itu berebentuk shakkal atau harokat huruf disebut muharaf.
Contohnya hadis mushahhaf:
“hadis nabi, barang siapa yang berpuasa ramadhan dan diikutiya denagn enam hari dari bulan syawal, maka ia sama dengan berpuasa satu tahun. “
Contohnya hadis muharraf: hadis jabir berkata:
“Ubay dipanah pada peperangan azab diurat lengannya, maka Rasululah mengobatinya dengan besi panas.” ( HR. Ad Daru Quthani)
II.10. Pembagian Hadis Dari Segi Kedudukan Dalam Hujjah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
II.10.1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Artinya:
“Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma’mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
II.10.2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
Artinya:
“Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.”
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
“Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun.”
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
BAB III
PENUTUP
Para Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis. Ada yang membaginya berdasarkan kualitas matan dan sanad serta kuantitas perawi, namun ada yang mengklasifikasikannya berdasarkan penggolongan yang lebih spesifik. Amat sulit mencari sebuah rangkuman dari banyak referensi yang berbeda-beda.
Namun pada akhirnya, ditarik kesimpulan bahwa pertama, dalam perkembangan masa hadis dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing. Secara garis besar hadis dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga dapat dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan penisbahan matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
Kedua, munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat terdapat uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari penambah penjelas dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan sang pengkaji, disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang perawi memang tidak dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif, sehingga tidak sesuai makna dan maksud sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadis sebagai hadis, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadis agar tergugah untuk lebih berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadis sehingga dapat membedakan mana yang termasuk bagian hadis dan yang bukan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mas’udi. Hasan, Hafidz. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Alhidayah.
Anwar, Moh. 1981.  Ilmu Musthalahah Hadit., Surabaya:AL-IKLAS.
At-Thahan, Taysir Musthalal Al-hadist. Rizki Putra.
As sidiqi. 1958. Pokok pokok ilmu dirayah hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ash Shiddieqy, Tengku Hasbi. 1999.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Khon,
Abdul Majid . Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara.
Mudatsir.  2005. Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Rahman, Fatchur.1987. Ikhtisar Musthalahul Hadist. Bandung:PT Alma’arif.

PEMBAGIAN HADIST

PEMBAGIAN HADIST
PEMBAGIAN HADIS NABI DITINJAU DARI BERBAGAI SEGI
I. Pembagian Hadis Dilihat dari Bentuknya.
A. Hadis Qauli
Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, ataupun ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa dan  keadaan yang berkaitan aqidah, syari’ah, akhlak dan  lainnya.
B. Hadis Fi’li
Yang dimaksud dengan hadis fi’li adalah hadis yang menyebutkan perbuatan nabi Muhammad SAW yang sampai kepada kita. Hadis yang termasuk kategori ini adalah hadis yang di dalamnya terdapat kata-kata kana/yakunu atau ra’aitu/ ra’aina
C. Hadis taqriri
Hadis taqriri adalah  hadis yang menyebutkan ketetapan nabi SAW terhadap apa yang datang dari sahabatnya. Nabi SAW membiarkan suatu perbuatanyang dilakukan oleh para sahabt apabila memenuhi beberapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun perbuatannya.
D. Hadis Hammi
Yang dimaksud dengan hadis hammi adalah hadis yang menyebutkan keinginan Nabi Muhammad  SAW yang belum terealisasikan. Keinginan nabi untuk berpuasa pada tanggal 9 Asyura’. Nabi belum sempat ,menunaikan hasratnya ini karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyura’ tahun berikutnya. Menurut para ulama’ menjalankan had hammi ini disunnahkan, sebagaimana menjalankan sunnah-sunnah lainnya.
E. Hadis Ahwali
Yang dimaksud dengan hadis ahwali ialah hadis yang menyebut hal ihwal Nabi Muhammad SAW, yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat, dan kepribadiannya.
Keadaan fisik Nabi Muhammad SAW tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Sebagimana dikatakan Al-Bara’i dalam sebuah hadis berikut:
II. Pembagian Hadis ditinjau dari kuantitas Rawi
A). Hadits Mutawatir
Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Menurut Mohammad Rahman dalam buku Ilmu Musthalahah Al hadis disebutkan bahwa syarat-syarat hadis mutawattir ada 3:
(1.) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
(2). Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
(3.) Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1.    Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya: “Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
II.3.2. Hadis Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya: “Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: “
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Pembagian hadis Ahad
1. Hadis Masyhur
Masyhur menurut Bahasa adalah al-intisyar wa az-zuyu’ (sesuatu yang sudah tersebar dan populer). Menurut istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap thabaqah- tidak mencapai derajat mutawatir.
2. Hadis Aziz
Aziz menurut bahasa adalah As-Syafief (yang mulia), An-Nadir (yang sedikit wujudnya), Ash-Shab’bul ladzi yakadu la yuqwa ‘alaih (yang sukar diperoleh), dan Al-Qowiyu (yang kuat). Menurut istilah, hadis aziz ialah hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad.
3. Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa adalah (1) ba’idun ‘anil wathani (yang jauh dari tanah) dan (2) kalimat yang sukar dipahami. Sedangkan secara terminologi, hadis gharib ialah hadis yang diriwayatkan oleh seoran perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya.
c. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis, ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh. [23]
II.4. Pembagian hadis berdasarkan kualitas sanad dan matan
II.4.1. Hadis Shahih
Hadis sahih menurut bahasa berarti hadis yng bersih dari cacat, hadis yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadis sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
Artinya :
“Hadis sahih adalah hadis yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
II.4.2. Hadis Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :
“yang kami sebut hadis hasan dalam kitab kami adalah hadis yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadis yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan hadisnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadis yang demikian kami sebut hadis hasan.”
II. 4.3. Hadis Dhoif
Hadis dhoif menurut bahasa berarti hadis yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadis itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadis daif :
Artinya :
“Hadis daif adalah hadis yang tidak menghimpun sifat-sifat hadis sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadis hasan.”
Jadi hadis dhaif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadis hasan. Pada hadis dhaif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadis tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
II.5. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan Sifat Sanad dan Cara Penyampaian Periwayatan
II.5.1. Hadis Ali
Hadis Ali adalah hadis yang jumlah rawinya dalam sanad itu sedikit, dibandingkan jumlah rawi yang ada pada sanad lain yang menyebut hadis yang sama.
Macam-macam hadis ‘Aly ada 5 macam;
1.    ‘aly Mutlaq
2.    Aly Nisbi
3.    ‘Aly Tinzil
4.    ‘Aly bitaqdimil wafat
5.    ‘Aly bitaqoddumis sanad
II.5.2. Hadis Nazil
Hadis Nazil adalah hadis yang jumlah rawi dan sanadnya banyak. Pembagian hadis nazil ada lima. Untuk mengetahuinya, cukup memahami kebalikan pembagian hadis ‘Aly. Aly Mutlaq melawan Nazil mutlaq.
Contoh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan Imam Al-Bukhari dengan sanad berbeda. Berikut perbandingannya;
Sanad muslim adalah Harmalah bin Yahya, Ibnu Wahb, Yunus, Ibnu Syihab, Abu Salamah dan Abu Hurairoh (6 orang) adalah hadis nazil. Sedangkan riwayat Bukhari bersanad Quthaibah bin Sa’id, Abul Akhwash, Abu Hasin, Abu Shalih, dan Abu Hurairoh (5 orang) adalah hadis ‘Aly karena sanadnya lebih sedikit.
II.5.3. Hadis Muannan
Muannan menurut bahasa berarti bahwasanya, sesungguhnya. Muannan menurut istilah adalah hadis yang dikatakan dalam sanadnya “memberitakan pada kami bahwasanya si fulan, memberitakan padanya ,begini”
Hukum hadis muannan
Dikalangan ulama terjadi perbedaan pendapat, ada yang berpendapat bahwa hadis muannan berhukum munqati’ sehingga ada penjelasan bahwa ia mendengar berita tersebut melalui sanad lain atau ada indikator lain yang menunjukkan bahwa ia mendengar atau menyaksikannya. Menurut mayoritas ulama’ bahwa hadis muannan di hukumi muttasil sama dengan muan’andi atas asal memenuhi dua syarat
Abu Al-Asyabal menegaskan, bahwa hadis muan’an jika seorang perowi yang menggunakan kata anna = bahwasanya ( muannin ) tidak semasa dengan orang yang menyampaikannya atau semasa tetapi tidak pernah bertemumaka periwayatannya di hukum munqathi’ tidak dapat di terima oleh hujjah atau seorang rowi yang menggunakan anna= bahwasanya ( muannin ) semasa hidupnya dengan yang menyampaikan berita tetapi tidak di ketahui apakah ia bertemu atau tidak, atau di ketahui tetapi ia sesorang penyembunyi cacat (mudallis), maka di tangguhkan  ( tawaqquf ) hingga dapat di ketahui ke muttasilannya
II.5.5. Hadis Musalsal
Menurut bahasa musalsal berasal dari kata salsala yusalsilu salsalatun, yang berarti dan bertali menali, di namakan hadis musalsal karena ada persamaan dengan rantai atau silsilah
Menurut istilah : keikutsertaan para perawi dalam sanad secara berturut turut pada satu sifat atau satu keadaan, terkadang bagi periwayatan.
Dengan demikian hadis musalsal adalah hadis yang secara berturut turut,  sanadnya sama dalam satu sifat atau dalam satu keadaan dan atau satu periwayatan
Macam macam musalsal
1). musalsal keadaan rawi ( musalsal bi ahwal arruwat )
msalsal keadaan perawi terkadang dalam perkataan ( qauli ) terkadang perbuatan  ( fi’li ) atau keduanya ( qauli & fi’li )
2). musalsal sifat periwayat ( musalsal bi shifat ar ruwah )
muasalsal ini di bagi menjadi perkataan ( qauli ) dan perbuatan  ( fi’li )
3). musalsal dalam sifat periwayatan 9 musalsal bi shifat ar riwayah )
muasalsal ini di bagi menjadi tiga macam :

1)      musalsal dalam bentuk ungkapan, penyampaian, periwayatan ( ada’)
2)      musalsal pada waktu periwayatan
3)      musalsal pada tempat periwayatan

Hukum hadis musalsal
Terkadang hadis terjadi musalsal dari awal sampai akhir. Dan terkadang sebagian musalsal terputus di permulaan atau di akhiran. Hukum musalsal ada kalanya shahih, hasan dan dhaif tergantung keadaan para perawinya. Sebagaimana tinjauan pembagian hadis di atas, bahwa musalsal adalah sifat sebagian sanat, maka tidak menujukkan keshahihan suatu hadis.
Diantara kelebihan musalsal tersebut adalah menunjukkan kemutasilan dalam mendengar, tidak adanya tadlis dan inqitha’, dan nilai tambah kedhabithan para perawi. Hal ini dibuktikan dengan perhatian masing-masing perawi dalam pengulangan menyebut keadaan atau sifat para perawi para periwayatan.
II.6. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan sumber berita
II.6.2. Hadis Marfu’
Marfu’ secara etimologi berarti “yang diangkat” atau “ditinggikan”. Secara epistimologis, hadis marfu’ berarti hadis yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, persetujuan, atau sifat, baik sanadnya bersambung maupun tidak.
Sebagian ulama kemudian membagi hadis ini berdasarkan jenisnya, jika hadis itu berupa ucapan dinamakan marfu’ qouli, jika perbuatan dinamakan marfu’ fi’li, jika persetujuan disebut marfu’ taqriri dan jika sifat maka dinamakan marfu’ washfi.
Jumhur Muhaditsin mambagi hadis marfu’ berdasarkan aspek pengkategorian teks, marfu’ tashrihy dan marfu’ hukmy.
Marfu’ tasyrihi adalah hadis yang tegas-tegas dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis tersebut didengar, atau dilihat dan atau disetujui Rasulullah. Misalnya perkataan seorang sahabat dengan kata :
Aku mendengar rasulullah SAW bersabda
Diceritakan kepadaku oleh Rasulullah
Berkatalah Rasulullah
Rasulullah menceritakan
Aku melihat rasulullah begini
Adalah rasulullah berbuat begini
Aku berbuat dihadapan Rasulllah begini
Sedangkan marfu’ hukmy adalah ucapan sahabat yang seolah-olah lahirnya dikatakan oleh seorang sahabat tetapi hakikatnya disandarkan kepada Rasulullah. Dengan kata lain bahwa apa yang dikatakan sahabat dapat dipastikan berasal dari nabi dan bukan dari hasil olah pikiran sahabat.
Syarat hadis dikatakan marfu’ tashrihy adalah sebagi berikut,
Pertama, yang diucapkan sahabat tersebut menyangkut masalah yang tidak dapat diijtihadkan. Misalnya tatkala sahabatberbicara masalah ghaib (ghaibiyat) atau tentang tanda-tanda kiamat.
Seperti perkataan ibnu mas’ud,
Barang siapa mendatangi tentang tukang sihir, atau tentang dukun, maka sesunggunhnya ia telah kafir, kepada apa yang telah diturunkan kepada Muhammad.
Kedua, Apabila ada seorang sahabat berkata:
Diantara sunnah begini.
Perkataan ini sudah dipandang sebagai hadist marfu’ karena makna sunnah disini adalah sunnah Rasullah. Contohnya perkataan Anas bin Malik
Diantara sunnah apabila seorang laki-laki beristri dengan seorang gadis (bikr) sedang ia mempunyai seorang istri lain, ia berdiam diri di rumah si gadis itu 7 hari lamanya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ketiga, apabila seorang sahabat membuat suatu pekerjaan yang tidak dapat diperoleh dengan jalan ijtihad, maka perbuatan itu dipandang sebagi hadist marfu’, karena dipersepsikan bahwa para sahabat tidak melakukan suatu perbuatan tanpa ada tuntunan dari Nabi pada tuntuna yang tidak mungkin diperoleh selain dari nabi.
Umpamanya mengangkat kedua tangan ketika takbir dalam beberapa takbir shalat hari raya baik dalam rakaat pertama maupun rakaat kedua. Pekerjaan ini dilakukan oleh Ibnu Umar. Tentunya tibeliau tidak akan mengerjakan hal tersebut kalau tidak mendapat tuntunsan dari Nabi. Dan diketahui bahwa ibnu Umar adalah seorang sahabat yang sangat kuat dalam menjalankan sunnah Nabi.
Keempat, jika sahabat bercerita tentang kejadian yang menimpa umat-umat terdahulu, selama sahabat tersebut tidak dikenal orang yang suka duduk dengan ahli kitab maka ceritanya dapat dikategorikan marfu’, karena tidak dikhawatirkan cerita tersebut mereka dengar dari ahli kitab yang bersumber dari taurat dan injil.
Kelima, jika sahabat mengatakan bahwa “kami diperintahkan untuk atau kami  dilarang”, maka dapat dipahami bahwa yang memerintah atu melarang tersebut adalah Nabi Muhammad SAW.
Keenam, jika yang diucapkan dinisbatkan pada zaman Nabi SAW. Misalnya mereka mengucapkan kami melakukan ini dan itu. Ungkapan ini dapat dihukumi sebagi marfu’ sekalipun sahabat tidak menghukumi qola  nabi, karena dipersepsikan bahwa nabi melihat pekerjaan itu terjadi tetapi tidak mencegah atau melarang. Proses ini disebut persetujuan (taqrir nabi).
Hadis marfu’ –baik tashrihi maupun hukmi- dapat dijadikan sebagi hujjah, selama hadis tersebut memenuhi kriteria hadis maqbul (shahih atau hasan).
II.6.3. Hadis Mauquf
Secara etimologi, mauquf berasal dari kata waqaf yang atinya berhenti. Mawquf berarti berhenti atau menghentikan. Secara epistimologi, definisi hadis mauquf adalah ucapan aau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat. Jika terdapat sebuah teks yang penuturnya seorang sahabat maka diistilahkan dengan mauquf baik tersambung sanadnya atau tidak.
Ibnu Al-Atsir dalam kitab Al-Jami’ mendefinisikan hadist mauquf sebagai
Hadis yang dihentikan (sandarannya) pada seorang sahabat tidak tersembunyi bagi seorang ahli hadis, yaitu suatu hadis yang disandarkan kepada seorang sahabat. Apabila telah sampai pada seorang sahabat, ia (seorang perawi) berkata : bahwasanya sahabat berkata begini, atau berbuat begini atau menyuruh begini.
Contoh hadis mauquf misalnya,
Ali bin Abi thalib berkata: Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui. Apakah mereka menghendaki Allah dan Rasul-Nya didustakan? (HR. Bukhari)
Dan Ummu ibnu Abbas sedangkan ia bertayammum (HR. Al-Bukhari)
Aku melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan ia tidak mengingkariku.
II.6.4. Hadis Maqthu’
Secara etimologi, maqtu’  berasal dari kata qotho’a yang berarti terputus.  Secara istilah ucapan atau  perbuatan  yang dinisbatkan kepada tabi’in. Jika terdapat sebuah teks dan penuturnya seorang tabi’in maka diistilahkan dengan maqthu’ baik bersambung sanadnya maupun tidak.
Lebih luas hadis maqthu’ didiefinisikan sebagai berikut :
Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau seorang setelahnya dari tabi’ tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka baik berupa perkataan atau perbuatan dam sesamanya.[47]
Contoh hadis maqthu’
Perkataan Hasan Al-Bashri tentang shalat di belakang ahli bid’ah
Shalatlah dan bid’ahnya atasnya. (HR. Bukhari)
Para ulama’ berpendapat bahwa hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali bagi golongan yang membolehkan berhujjah dengan hadis mursal, maka maqthu’ yang marfu’ dijadikan hujjah.
II.7. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan ketersambungan sanad
II.7.1. Hadis Muttashil
Dari segi bahasa Muttashil berarti yang bersambung, berasal dari kata ittashola yattashilu. Secara epistimologi hadis muttasil ialah hadis yang bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu’ disandarkan kepada nabi maupun mauquf (disandarkan kepada seorang sahabat)
Dalam definisi di atas ungkapan hingga akhir sanad menunjukkan bahwa hadis muttashil bisa marfu’ bisa mauquf bahkan juga bisa maqthu’. Jika sanadnya berakhir pada nabi maka disebut marfu’, jika berakhir pada sahabat maka dinamakan mauquf dan jika berakhir pada tabi’in maka disebut maqthu’.
Contoh hadis muttashil yang marfu’
Artinya : orang yang terlambat melaksanakan sholat sepeeti orang yang kehilangan keluarga dan kerabatnya[52] (HR Imam Nasa’i)
II.7.2. Hadis Musnad
Dari segi bahasa musnad berasal dari kata asnad, dengan makna menyandarkan atau menggabungkan. Dari segi istilah hadis musnad ialah  hadis yang di riwayatkan dengan sanad yang bersambung, dengan kata lain hadist yang bersambung dan marfu’ dan di katakan tidak musnad jika tidak marfu’, inilah yang membedakan musnad dan muttasil, semua musnad pasti muttasil, namun tidak setiap muttasil itu musnad
contoh : hasil periwayatan bukhori misalnya dia berkata : memberitakan pada kami abdullah bin yusuf dari malik dari abu azzanad dari al a’araj dari abu hurairah berkata: sesungguhnya rasulullah bersabda :
Yang artinya : jika anjing minum bejana kamu maka cucilah tujuh kali[55]
II.8. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan keterputusan sanad
II.8.1. Hadis Mursal
Terdapat beberapa perbedaan dalam pendefinisian mursal. Adapun definisi mursal menurut jumhur muhadditsin adalah hadis yang gugur perowinya pada tingkatan shahabat. Pada proses periwayatannya tabi’in tidak berjumpa dengan nabi. Hadis yang didengar oleh tabi’in dapat dipastikan bersumber dari sahabat sedang pada sanad itu sahabat tidak tampak.
Hukum hadis mursal
1.    Hadis mursal tidak dapat dijadikan hujjah karena yang gugur bisa jadi tiak sebatas sahabat tapi ada kemungkinan dua orang.
2.    Dapat dijadikan sebagai hujjah asalkan diriwayatkan dari tabi’in senior
3.    Dapat dijadikan hujjah dengan syarat tabi’in yang meriwayatkan hadis tersebut dikenal sebagai orang yang tsiqah.
II.8.2. Hadis Mu’allaq
Hadis muallaq yaitu hadis yang terputus di awal sanadnya dari jajaran perowi. Baik terputusnya lebih dari satu tempat atau gugur lebih dari satu perowi asalkan terputusnya terdapat diawali sanad masih dapat dikatakan muallaq. Hadis muallaq masuk kategori hadis dhoif karena hilangnya syarat pertama dari syurut Al-qabul (ittishal al-sanad) dan sosok perawi yang gugur ststus kepribadiannya tidak diketahui.
Hadis-hadis muallaq yang terdapat dalam shahihin masuk ketegori shahih, karena hadis-hadis tersebut sebagian besar ternyata berstatus muttashil dalam riwayat lain dalam kitab tersebut. Adapun hadis-hadis muallaq yang tidak terdapat keterangannya atau tidak terulang dalam kitab tersebut ternyata juga berstatus bersambung. Hal itu telah dibuktikan oleh ibn Hajar yang telah meneliti satu persatu hadis-hadis muallaq dalam shahih bukhari dan hasilnya, beliau mendapatkan bahwa hadis-hadis muallaq dalam shahih Bukhari ternyata berstatus muttashil dalam riwayat lain di luar kitab shahih Bukhari.
II.8.3. Hadis Mu’dhal
Istilah ini berasal dari kata a’dhola yang berarti memayahkan. Diistilahkan demikian karena peneliti yang akan mencari perowi yang gugur akan merasa kepayahan. Adapun secara terminologi, mu’dhol berarti hadis yang terputus sanadnya pada dua tempat secara berurutan, bisa mulai dari awal sanad, tengah atau akhir. Hukum hadis mu’dhol dhaif, karena tidak memenuhi kriteria hadis maqbul.
II.8.4. Hadis Munqathi’
Kata Al-Inqita’ (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita’ merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita’ adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati’ yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
Artinya:
“Hadis Munqati adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus) persambungannya.”
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, “Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya”. Dengan demikian, hadis munqati’ merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya: “Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”
Definisi ini menjadikan hadis munqati’ berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan “Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal; dengan kata-kata, “Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata “Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.
II.8.5. Hadis Mudallas
Dalam bahasa arab, kata at –tadlis diartikan menyimpan atau menyambunyikan cacat. Seadangkan istilah, menyembuyikan cacat dalam isnad dan menyampaikan cara periwayatan yang baik
Maksud menampakkan cara periwayatan yang baik adalah mengunakan ungkapan periwayatan yang tidak tegas bahwa ia mendenagr dari penyampaian berita.hadis ini hamper sama dengan mursal khafi.
Pembagian hadis mudallas
Hadis mudallas dibagi menjadi dua macam
1)      tadlis al isnad : seorang perawi meriwayatkan hadis yang ia tidak mendengarnya dari seseorang yang pernah ia temui dengan cara yang menimbulkan dugaan bahwa ia mendengarnya
2)      tadlis asy syuyukh’ : seorang perawi meriwayatkan dari seorang syaikh sebuah hadis yang ia dengar darinya kemudian ia beri nama lain atau nama panggilan ( kuniyah ) atau nama bangsa dan atau nama sifat yag tidak di kenal supaya tidak di kenal
Hukum periwayatan tadlis
Perawi yang tidak di kanal sebagai mudallis ada beberapa pendapat tentang hukum periwayatannya apakah diterima atau tidak, yaitu sebagai berikut
1)      di tolak secara mutlak baik di jelaskan dengan tegas ( as-sama) atau tidak, yaitu pendapat sebagian malikiyah bahkan menurut sebagian mereka walauun di ketahui sekali melakukan tadlis tetap di tolak
2)      diterima segara mutlak, pendapat al khatib dalm al kifayah dari para ahli ilmu. Alasan pendapat ini, tadlis di pesamakan dgan al irsal
3)      diterima jika ia tidak di ketahui melakukan tadlis kecuali dari orang tsiqah
4)      diterima jika tadlisnya langka atau sedikit saja
5)      diterima periwayatannya, jika ia tsiqah dan mempertegas periwayatannya dengan as sama
II.9. Pembagian Hadis Nabi berdasarkan kecacatan para periwayat
II.9.1. Hadis Mawdhu’
Hadis maudhu’ sebenarnya adalah ungkapan seseorang yang disandarkan kepada nabi secara dusta Hadis maudhu’ merupakan hadis terburuk kualitasnya. Karena ia merupakan hadis palsu yang sama sekali tidak dikatakan oleh nabi. Disisi lain hadis jenis ini akan berdampak fatal pada agama. Larangan periwayatan hadis maudhu’ berdasar pada hadis nabi yang berisi kecaman bagi pemalsu hadis;
“ barang siapa meriwayatkan hadis dariku dan dia tahu bahwa yang diriwayatkan itu adalah hadis palsu maka dia termasuk dari pemalsu”[62]
II.9.2. Hadis Matruk
Hadis matruk merupakan bagian dari hadis dha’if yang cacat keadilan. Dalam istilah hadis matruk adalah hadis yang salah satu periwayatnya seorang tertuduh dusta.
II.9.3. Hadis Munkar
Hadis yang pada sanatnya ada seorang perawi yang banyak kesalahannya atau banyak kelupaan atau nampak kefasikan.
Ada yang mengatakan hadis yang diriwayatkan seorang dhaif menyalahi periwayatan yang tsiqqah. Dari definisi diatas sudah jelas bahwa diantara periwayat hadis munkar ada yang sangat lemah daya ingatannya sehingga periwayatannya menyendiri tidak sama dengan periwayatan yang tsiqqah. Perwayatan munkar tidak sama dengan syad karena dalam munkar periwayatannya bersifat dhaif yang menyalahi periwayatan tsiqqah. Sedangkan hadis syad periwayatan orang tsiqqah menyalahi orang yang lebih tsiqqah. Contoh: hadis yang di riwayatkan ibnu majjah melalui usama bin ziad alma dani dari ibu shihab dari abu salamah bin abdur rahman bin auf dari ayahnya secara marfu’:
“ seorang yang puasa bulan ramadhan dalam perjalanan seperti seorang yang berbuka dalam tempat tinggalnya”
Hadis diatas munkar karena periwayatannya usama bin zaid almadani secara marfu’ (dari Rasulullah) bertentangan periwayatan ibnu Abi dzi’bin yang tsiqqah, menurutnya hadis diatas mauquf pada abdur rahman bin auf. Tingkatan kedhaifannya sangat dhaif setelah matruk.
II.9.4. Hadis mu’allal
Illah adalah ungkapan beberapa sebab yang samar tersembunyi yang datang pad ahadis kemudian membuat cacat dalam keabsahannya padahal lahirnya selamat daripadanya. Hadis mualal adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat illah ynag membuat cacat keshahihan hadis, padahal lahirnya elamat dari padanya. Dari definisi diastas, dapat difahami bahwa kriteria illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan keshahihan suatu hadis. Illah bis aterjadi pada sanad dan natan.
Contoh hadis mu’alal adalah :
“ hadis yang diriwayatkan oleh tirmidzi dan abu daud dari kutaibah bin said memberitakan kepada kami abdus salam bin harb al malai dari a’masy dari annas berkata nabi ketika hendak hajat tidak mengangkat kainnya sehingga dekat dengan tanah.”
Hadis diatas lahirnya shahih karena semua perawinya dalam sanad tsiqah, tetapi al a’masi tidak mendengar dari annas bin malik; dia melihatnya di mekkah shalat di belakang maqam ibrahim.
II.9.5. Hadis mudraj
Idraj menurut bahasa adalah memasukkan sesuatu dalam lipatan sesuatu yang lain. Menurut istilah muhaddisin, yaitu segala sesuatu yang tersebut dalam kandungan suatu hadis dan bersambung dengannya tanpa ada pemisah, padahal ia bukan bagian dari hadis itu.gampangnya adalah hadis yang disisipkan ke dalam matannya sesuatu perkataan orang lain
baik orang itu sahabat ataupun tabiin untuk menerangkan maksudmakna
Para ulama membagi idraj sesuai dengan tempatnya menjadi dua bagian. Pertama, Mudraj matan adalah ucapan sebagian rawi dari kalangan sahabat atau dari generasi setelahnya yang tercatat dalam matan hadis dan bersambung dengannya. Idraj dalam matan adakalanya terjadi di akhir matan dan ini yang terbanyak, di tengah-tengah atau di awalnya. Kebanyakan idraj dalam matan dilakukan dalam menafsirkan maksud suatu ungkapan hadis., tidak jarang merupakan hasil kesimpulan hukum yang darinya pendengar menganggap sebagai bagian dari hadis sehingga deisertakan dengannya.
Kedua Mudraj isnad. Dalam hal ini, para ulama menyebutkan beberapa bentuk yang secara garis besarnya adalah sebagai berikut; 1) Seorang rawi mendengar suatu hadis dari banyak guru dengan beraneka ragam jalur sanadnya, kemudian ia meriwayatkannya dengan satu jalur sanad tanpa menjelaskan perbedaannya. 2) Seorang rawi memiliki sebagian matan, namun ia juga memiliki sebagian matan lainnya dari sanad lain, kemudian matan tersebut diriwayatkan oleh salah seorang muridnya secara sempurna dengan satu sanad. Jelasnya adalah bila ia memiliki dua hadis dengan dua sanad berbeda, lalu keduanya digabungkan dalam satu sanad. 3) Seorang muhaddis membacakan suatu sanad hadis, kemudian terjadilah sesuatu sehingga ia mengeluarkan kata-katanya sendiri, kemudian kata-katanya itu dianggap oleh sebagai orang yang mendengarnya sebagai matan, sehingga mereka meriwayatkan kata-kata tersebut dengan sanad yang dibaca muhaddis.
Idraj dalam hadis memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadis sebagai hadis, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Sehubungan dengan itu mereka menetapkan beberapa pedoman untuk mengetahui dan menyingkapnya dengan pasti.
Pedoman itu adalah sebagai berikut; 1) Adanya riwayat yang memisahkan lafad yang mudraj dari pokok hadis, hal ini sangat jelas. 2) Adanya penegasan tentang kejadian itu dari rawi yang bersangkuta, atau dari salah seorang imam yang luas wawasannya. 3) Idraj dapat diketahui dari lahiriyah susunan hadis. Seperti hadis yang menyatakan bahwa Bilal melakukan adzan di waktu malam.
Sesuatu hadis yang dapat diketahui mana kata-kata yang disisipkan ke dalamnya, dapat dipandang sahih dengan mengeluarkan kata-kata kata itu. Tetapi jika tidak lagi, maka fenomena hadis mudraj oleh para ulama digolongkan hadis daif. Karena tercampur dengan sesuatu yang bukan hadis. Disamping itu, seandainya kata-kata yang di idrajkan itu sahih atau hasan karena dimungkinkan datang melalui sanad lain yang sahih, namun hal ini tidak mengubah kedhoifannya karena dinilai sebagai sesuatu bercampur dalam sebuah hadis yang terjadi idraj. Padahal jelas bahwa ia bukan bagian dari hadis itu.
Namun, al-Suyuthi mengecualikan kesengajaan dalam idraj apabila dalam rangka menafsirkan suatu kata yang asing, maka hal ini tidak haram. Pendapat ini didukung oleh tindakan para imam hadis yang dapat dipegangi, seperti al-Zuhri. Akan tetapi yang lebih utama memastikan mana kata-kata asing yang di idrajkan itu sebagai upaya penafsiran; sementara orang yang mengetahuinya hendaklah menjelaskan.
II.9.6. Hadis maqlub
Menurut etimologi, berubahnya sesuatu dari bentuknya. Kata maqlub adalah isim maf’l dari akar kata qalaba,. Secara terminologi adalah mengganti lafad dengan lafad yang lain pada sanad atau matan hadis. Jelasnya hadis maqlub adalah sesuatu hadis yang telah terjadi kesilapan pada seeorang perawi dengan mendahulukan yang semestinya diahir, atau mengemudiankan yang semestinya lebih dulu baik berupa matan atau sanad
Nuruddin memberikan definisi hadis maqlub adalah hadis yang rawinya menggantikan suatu bagian darinya dengan yang lain, baik dalam sanad atau matan, dan bila karena lupa atau sengaja. Menurutnya, definisi ini yang paling tepat. Berdasarkan definisi ini dapat membagi hadis maqlub menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang dapat mempersatukan berbagia keterangan yang beranekaragam dalam berbagai sumber pembahasan bidang ini. Yakni, maqlubnya suatu hadis bila ditinjau dari posisinya dapat diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, maqlub sanad, yakni pergantian pada sanad. Kedua, maqlub matan yakni pergantian pada matan
Masing-masing dari keduanya adalakanya terjadi karena kelalaian rawinya atau karena kesengajaanya. Para muhaddisin menaruh perhatian besar terhadap kedua klasisfikasi hadis maqlub terahir. Karena dugaannya dapat diketahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, serta dapat dijadikan dalil dalam al-jarh wa at ta’dil. Pertama, hadis maqlub yang terjadi karena kelupaan rawinya. Seperti matan suatu hadis yang diriwayatkan dengan sanad tertentu oleh rawinya sehingga meriwayatkannya dengan menggunakan sanad lain.
Diantara contoh hadis maqlub jenis ini hadis yang diriwayatkan dari Ishaq bin Isa al-Thabab’
“Meriwayatkan hadis kepada kami Jarir bin Hazxim dari Sabit dari Anas r.a katanya, Rasululullah bersabda: Apabila sholat telah siap didirikan, maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku”
Ishaq bin Isa berkata: Kemudian saya dating kepada Hammad dan bertanya kepadanya perihal hadis ini. Ia menjawab; Abu al-Nadhar salah duga. Sesungguhnya kami berada di majelis Sabit al-Banni dan Hajjaj bin Abu Usman ada bersama kami. Hajjaj al-Shawwaf meriwayatkan hadis kepada kami dari Yahya bin Abu Bakar dari Abdullah bin Abu Qatradah dari bapaknya bahwa Rasulullah berkata “Apabila sholat telah siap didirikan, maka janganlah kamu berdiri sehingga kamu melihatku”. Abu Nadhar menduga bahwa hadis tersebut termasuk hadis yang diriwayatkan kepada kami oleh Sabit dari Anas.
Jelaslah bagimana tertukarnya suatu sanad oleh rawinya, dimana dia telah menempatkan matan pada selain sanad yang sebenarnya.
Hukum hadis maqlub jenis ini adalah daif, karena hal demikian timbul akibat kacaunya hafalan rawi, sehingga ia memalingkannya dari yang sebenarnya. Apabila terjadi berulang kali, maka akan mengurangi ke-dhabitannya dan semua hadisnya akan di daifkan
Kedua, hadis maqlub yang terjadi karena kesengajaannya rawinya. Hadis maqlub jenis ini adalah yang paling bahaya, sehingga para ulama sangat besar perhatiannya untuk mengkaji dan membongkar rahasianya serta menjelaskan latar belakang dan motif para rawi yang melakukan hal itu. Diantara latar belakang dan motif tersebut adalah;
1.    Keinginan perawi untuk mengemukakan hal-hal yang aneh kepada orang lain, sehingga diduga meriwayatkan hadis yang tidak pernah diriwayatkan oleh rawi lain. Dengan itu orang-orang akan menerima dan menghafalkanya.
2.    Keinginan seorang rawi untuk menguji ahli hadis yang lain, ia hafal atau tidak dan apakah hafalannya masih baik atau sudah kacau. Di samping dimaksudkan untuk menguji kecerdasan rawi lain, apakah ia menerima indoktrinasi atau tidak. Sebab untuk mengetahui hadis maqlub dibutuhkan hafalan yang luas dan ketekunan yang tinggi guna menguasai sejumlah riwayat dan sanad.
II.9.7. Hadis mudhharib
Kata mudtarib adalah isim fail dari fiil madi idtaraba yaitu perbedaan perkara dan rusaknya aturan. Kata dasarnya daraba. Secara istilah, bermakna sesuatu yang diriwayatkan dalam bentuk yang berbeda dalam satu tema sebagai penguat. Jelasnya, hadis mudltarib adalah hadis yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dengan beberapa redaksi yang berbeda dengan kualitas yang sama, sehingga tidak ada yang dapat diunggulkan dan tidak dapat dikompromikan. Perbedaan tersebut periwayatnya atau matannya, baik dilakukan oleh seorang perawi atau oleh banyak perawi, dengan mendahulukan, mengemudiankan, menambah, mengurangi, ataupun mengganti, serta tidak dapat dikuatkan salah satu riwayatnya atau salah satu matannya.
Singkatnya, hadis mudltarib adalah hadis yang memiliki perbedaan dari berbagai riwayatnya dengan dua catatan. Pertama, antara hadis tersebut seimbang kualitasnya sehingga tidak dapat diunggulkan salah satunya. Karena bila ada yang dapat diunggulkan, maka hukumnya pada hadis yang unggul tersebut disebut dengan mahfuz, atau ma’ruf lawan dari syadz atau munkar. Kedua, antara hadis tersebut tidak dapat dikompromikan. Karena bila perbedaannya dapat dihilangkan dengan cara benar, maka status ke-mudltaribannya hilang.
Diantara contoh hadis mudltarib adalah hadis Zaid bin Arqam dari Rasululllah. Bersabda:
“Sesungguhnya taman ini terkena bencana. Apabila salah seorang di antara kamu memasuki kakus, berdoalah: Aku berlindung kepada Allah dari Mahluk jahat laki-laki dan mahluk jahat perempuan”
Menurut Turmudzi, hadis Zaid bin Arqam sanadnya mengandung ke mudltariban. Sebab kemudltariban hadis ini adalah adanya perselisihan yang cukup banyak tentang dari siapa Qatadah menerima hadis tersebut. Said bin Abi ‘Arubah meriwayatkan bahwa Qatadah menerimanya dari Qasim bin ‘Auf al-Syaibani, dari Zaid bin Arqam. Hisyam Dastuwa’i berkata: dari Qatadah dari Zaid bin Arqam. Syu’bah meriwayatkan dari Qatadah dari al-Nadhr bin Anas dari Zid bin Arqam. Mu’amar meriwayatkannya dari Qatadah dari al-Nahar dari ayahnya dari Rasululllah.
Ditinjau dari segi hukum, maka hadis mudltarib adalah daif, karena ke-mudltariban itu mengesankan tidak adanya ke-dhabitan seorang periwayat terhadap hadis yang bersangkutan. Karena apabila suatu saat meriwayatkan hadis demikian, lalu pada kesempatan lain meriwayatkanya dalam bentuk lain, maka hal yang demikian menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak terekam kuat dalam hafalannya. Demikian pula bila terjadi pertentangan di antara beberapa riwayat, maka tidak dapat memastikan perawi mana yang paling dhabit terhadap hadis yang diriwayatkan.
II. 9. 8 Hadis Mushahhaf dan Muharraf
Perubahan kalimat dalam hadis selain apa yang dirwayatkan oleh orang tsiqah baik secara lafal atau makna. Ibnu Hajar membedkan adanya perubahan yang terjadi pada hadis, jika perubahan itu berupa titik pada suatu huruf atau beberapa huruf itulah disebut mushahhaf dan jika perubahan itu berebentuk shakkal atau harokat huruf disebut muharaf.
Contohnya hadis mushahhaf:
“hadis nabi, barang siapa yang berpuasa ramadhan dan diikutiya denagn enam hari dari bulan syawal, maka ia sama dengan berpuasa satu tahun. “
Contohnya hadis muharraf: hadis jabir berkata:
“Ubay dipanah pada peperangan azab diurat lengannya, maka Rasululah mengobatinya dengan besi panas.” ( HR. Ad Daru Quthani)
II.10. Pembagian Hadis Dari Segi Kedudukan Dalam Hujjah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadis perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadis ahad, karena hadis tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadis mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadis ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
II.10.1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf Muhaditsin hadis Maqbul ialah:
Artinya:
“Hadis yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya.”
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadis maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadis maqbul adalah:
* Hadis sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
* Hadis hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.
Kedua macam hadis tersebut di atas adalah hadis-hadis maqbul yang wajib diterima, namun demikian para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadis yang maqbul itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadis-hadis yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadis Rasulullah SAW.
Adapun hadis maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadis nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadis-hadis maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadis yang kuat disebut dengan hadis rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadis marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadis maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadis maqbulun bihi dan hadis gairu ma’mulin bihi.
1. Hadis maqmulun bihi
Hadis maqmulun bihi adalah hadis yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadis ini ialah:
a. Hadis muhkam, yaitu hadis yang tidak mempunyai perlawanan
b. Hadis mukhtalif, yaitu dua hadis yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
c. Hadis nasih
d. Hadis rajih
2. Hadis gairo makmulinbihi
Hadis gairu makmulinbihi ialah hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadis-hadis maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:
a. Hadis mutawaqaf, yaitu hadis muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
b. Hadis mansuh
c. Hadis marjuh.
II.10.2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin, hadis mardud ialah :
Artinya:
“Hadis yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan.”
Ada juga yang menarifkan hadis mardud adalah:
Artinya:
“Hadis yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadis Maqbun.”
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadis-hadis maqbul, maka sebaliknya setiap hadis yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadis mardud adalah semua hadis yang telah dihukumi daif.
BAB III
PENUTUP
Para Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis. Ada yang membaginya berdasarkan kualitas matan dan sanad serta kuantitas perawi, namun ada yang mengklasifikasikannya berdasarkan penggolongan yang lebih spesifik. Amat sulit mencari sebuah rangkuman dari banyak referensi yang berbeda-beda.
Namun pada akhirnya, ditarik kesimpulan bahwa pertama, dalam perkembangan masa hadis dikelompakkan sesuai kriteria masing-masing. Secara garis besar hadis dapat dibagi dengan melihat sanad dan matan. Sehingga dapat dirumuskan, berdasarkan diterima dan ditolaknya, jumlah rawi, bentuk dan penisbahan matan dan berdasarkan persambungan dan keadaan sanad.
Kedua, munculnya fenomena penambahan, perbedaan redaksi, penukaran urutan kalimat terdapat uncur positive dan lebih banyak negatifnya. Positif bila dilihat dari penambah penjelas dari kalimat yang masih perlu ditafsirkan. Negatifnya membuat keraguan sang pengkaji, disebabkan berbagai hal, diantaranya kemungkinan sang perawi memang tidak dabit, dan kemungkinan rawi menafsirkan secara obyektif, sehingga tidak sesuai makna dan maksud sebenarnya.
Dengan munculnya fenomena diatas memiliki dampak yang sangat bahaya, lantaran kadang-kadang berakibat menjadikan sesuatu yang bukan hadis sebagai hadis, maka para ulama sangat keras menyoroti dan mengkajinya dengan serius serta menanganinya dengan sangat hati-hati. Dan ahirnya para pecinta hadis agar tergugah untuk lebih berhati-hati dalam menelaah dan mengamalkan isi hadis sehingga dapat membedakan mana yang termasuk bagian hadis dan yang bukan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mas’udi. Hasan, Hafidz. Ilmu Musthalah Hadis. Surabaya: Alhidayah.
Anwar, Moh. 1981.  Ilmu Musthalahah Hadit., Surabaya:AL-IKLAS.
At-Thahan, Taysir Musthalal Al-hadist. Rizki Putra.
As sidiqi. 1958. Pokok pokok ilmu dirayah hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ash Shiddieqy, Tengku Hasbi. 1999.  Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang: Pustaka Khon,
Abdul Majid . Ulumul Hadis. Jakarta: Bumi Aksara.
Mudatsir.  2005. Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Rahman, Fatchur.1987. Ikhtisar Musthalahul Hadist. Bandung:PT Alma’arif.